Rasisme di Korea Selatan: Didorong Jepang, Dimuliakan Konsep Darah Murni

By Ade S, Kamis, 13 Juni 2024 | 18:03 WIB
Ilustrasi. Rasisme yang dilakukan warga Korea Selatan terbentuk dari pengaruh Jepang dan dipertahankan oleh ide darah murni. (Freepik)

Nationalgeographic.co.id—Kasus Indosarang mengungkap bagaimana kuatnya rasisme yang ada pada diri warga Korea Selatan. Baik itu yang tinggal di negaranya, maupun yang berada di negeri lain.

Forum ini, yang seharusnya menjadi tempat pertemuan dan pertukaran budaya, malah menjadi panggung bagi ungkapan prasangka dan diskriminasi.

Ketika sebuah negara yang bangga dengan homogenitasnya dihadapkan pada gelombang globalisasi, pertanyaan tentang identitas nasional dan toleransi menjadi semakin mendesak.

Apakah mungkin bagi Korea Selatan untuk mempertahankan keunikan budayanya sambil membuka pintu untuk keberagaman?

Artikel ini tidak hanya akan menyoroti kasus-kasus spesifik tetapi juga akan mengeksplorasi data-data serta akar historis dari rasisme di Korea Selatan. 

Indosarang

Forum Indosarang, yang merupakan komunitas diaspora Korea Selatan di Indonesia, baru-baru ini menjadi pusat perhatian. 

Hal tersebut terjadi setelah muncul tuduhan bahwa situs tersebut menampilkan konten yang rasial terhadap warga Indonesia dan umat Islam.

Kegelisahan warganet Indonesia terhadap forum tersebut terlihat jelas di media sosial, dengan sebagian dari mereka mendesak individu Korea Selatan yang terlibat dalam perilaku rasis untuk meninggalkan Indonesia.

Setelah dilakukan investigasi, tampaknya komentar-komentar yang dianggap rasis telah dihapus oleh admin atau pemilik forum Indosarang, yang identitasnya masih belum diketahui.

Meskipun demikian, beberapa postingan terkini di forum tersebut menunjukkan adanya permintaan maaf atas kehebohan yang ditimbulkan oleh konten rasis yang sempat dipublikasikan sebelumnya.

Baca Juga: Bagaimana Rasisme Mengakhiri Dominasi Eropa di Kekaisaran Jepang?

Kasus Rasisme di Korea Selatan

Pada awal 2024 ini, RAJ, seorang penduduk India yang telah berdomisili di Korea Selatan selama hampir satu dekade, menghadapi situasi yang mengejutkan di Busan. Ketika mencoba memasuki sebuah klub, dia dan kawan-kawannya diberitahu secara langsung oleh penjaga bahwa mereka tidak boleh masuk karena asal negara mereka.

Meski telah protes, mereka disarankan untuk mencoba klub lain yang berdekatan. Namun, klub tersebut juga menampilkan papan pengumuman yang secara terang-terangan melarang masuk bagi pria dari India dan Pakistan.

Insiden ini mendapat perhatian publik setelah Raj membagikan video tentang papan pengumuman yang diskriminatif itu, yang kemudian menjadi viral dengan bantuan Nikita Thakur, seorang YouTuber asal India. Video tersebut memicu perdebatan luas tentang prevalensi diskriminasi di Korea Selatan.

Kasus penolakan masuk ke klub berdasarkan kewarganegaraan atau etnis bukanlah fenomena baru di negara ini. Seperti yang terjadi pada seorang mahasiswa India pernah berbagi pengalaman serupa pada tahun 2017.

Saat itu, dia ditolak oleh sebuah klub di Itaewon, sementara teman-temannya dari berbagai negara lain diperbolehkan masuk. Klub tersebut diduga menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap warga dari beberapa negara, termasuk India dan Pakistan.

Data Menguatkan

Laporan dari US News & World Report pada tahun 2023, seperti dilansir dari The Star, menempatkan Korea Selatan di urutan kesembilan dari 79 negara dalam hal isu rasisme.

Survei oleh Segye Ilbo pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa sekitar 69.1% dari warga negara asing di Korea merasa mengalami diskriminasi atau menjadi target kebencian.

Dari ini, hanya 3.4% melaporkan serangan fisik, sementara 32.9% mengalami diskriminasi tidak langsung seperti isyarat atau tatapan bermusuhan. Lebih lanjut, 16.4% menghadapi penghinaan verbal dan 10.6% merasakan perlakuan tidak adil, termasuk dalam hal upah.

Menurut Komisi Hak Asasi Manusia Nasional Korea (NHRCK), diskriminasi rasial di Korea seringkali bergantung pada status ekonomi negara asal seseorang. Sebagai contoh, warga Korea cenderung lebih mendiskriminasi orang kulit hitam dari negara berkembang dibandingkan dengan mereka dari Amerika Serikat.

Baca Juga: Kisah Nahas Sabo dan Bitio, Korban Rasisme 'Sirkus Manusia' di Belgia

Dalam laporan NHRCK tahun 2019, 56.8% responden imigran menyatakan bahwa mereka didiskriminasi berdasarkan negara asal mereka, dan 36.9% merasa didiskriminasi berdasarkan tingkat ekonomi mereka.

Seorang pejabat NHRCK menyatakan bahwa perlakuan terhadap orang asing di Korea sangat bervariasi, sering kali dimulai dari penilaian atas warna kulit, diikuti oleh asal negara mereka.

Laporan NHRCK juga menyoroti bahwa imigran dan orang asing sering merasakan diskriminasi dari institusi publik. Dalam survei NHRCK tahun 2019, 41% responden merasa didiskriminasi di pengadilan, dan 35.2% di kantor imigrasi.

Kesadaran akan diskriminasi ini juga diakui oleh beberapa warga Korea. Berdasarkan Survei Kesadaran Hak Asasi Manusia NHRCK tahun 2022, hanya 41% dari 16,148 responden Korea yang percaya bahwa hak asasi manusia imigran di Korea dihormati setara dengan warga Korea sendiri.

Pengaruh Kolonialisme Jepang

Peran kolonialisme Jepang dalam membentuk identitas nasional Korea sangat signifikan. Dikelilingi oleh negara-negara besar seperti Cina, Jepang, dan Rusia, Korea Selatan masih merasakan pengaruh dan ancaman dari masa lalu.

Meskipun terpisah menjadi Korea Utara dan Selatan, ada rasa persatuan etnik yang mendalam di antara orang Korea. Mereka percaya bahwa mereka adalah satu bangsa, etnis, dan ras, yang turun dari Dangun, leluhur mitologis dan pendiri bangsa Korea.

Sosok Dangun inilah yang dianggap telah mendorong munculnya ideologi superioritas darah murni Korea. Ideologi yang, di sisi lain, memandang ras-ras lain yang ada di muka Bumi hanyalah ras inferior. Rendahan.

Pembagian Semenanjung Korea, seperti dilansir dari The Freeman Spogli Institute for International Studies di Universitas Standford, dianggap tidak permanen dan ada harapan untuk reunifikasi di masa depan.

Korea adalah negara yang homogen dengan sekitar lima persen penduduknya bukan etnis Korea. Ironisnya, globalisasi telah memperkuat identitas etnik ini, dengan Korea Selatan aktif mempromosikan budayanya di kancah internasional—dari kesuksesan global BTS hingga film pemenang Oscar, Parasite.

Kebanggaan ini juga tercermin dalam upaya untuk mengintegrasikan diaspora Korea ke dalam identitas nasional yang lebih luas, memanfaatkan mereka sebagai duta budaya di tempat mereka tinggal. Semua aspek ini bersama-sama membentuk identitas nasional Korea yang kompleks dan dinamis.

Dalam menghadapi bayang-bayang kolonialisme dan konsep darah murni, Korea Selatan terus berjuang dengan isu rasisme yang kompleks. Upaya untuk mengatasi masalah ini akan menjadi langkah penting dalam perjalanan negara menuju inklusivitas dan keberagaman yang lebih besar.