“Jika yang bisa kita lakukan hanyalah mengeluarkan suara-suara yang terdengar seperti apa yang kita bicarakan, hal ini akan sangat membatasi kemampuan kita untuk berkomunikasi,” kata salah satu penulis studi, George Wittemyer, seorang profesor di Warner College of Natural Resources di CSU dan ketua dewan ilmiah dari Save the Elephants.
Wittemyer mengatakan penggunaan label vocal arbitrary menunjukkan bahwa gajah mungkin mampu berpikir abstrak.
“Ini mungkin merupakan kasus di mana kita mendapat tekanan serupa, sebagian besar berasal dari interaksi sosial yang kompleks,” kata Wittemyer. “Itulah salah satu hal menarik dari penelitian ini, memberi kita beberapa wawasan tentang kemungkinan pendorong mengapa kita mengembangkan kemampuan ini.”
Gajah banyak bicara, berkomunikasi satu sama lain secara vokal selain melalui penglihatan, penciuman, dan sentuhan. Panggilan mereka menyampaikan banyak informasi, termasuk identitas pemanggil, usia, jenis kelamin, keadaan emosi, dan konteks perilaku.
Vokalisasi gajah, mulai dari suara terompet hingga gemuruh rendah pada pita suara dapat menjangkau spektrum frekuensi yang luas. Hal ini juga termasuk suara infrasonik di bawah jangkauan telinga manusia.
Melalui suara panggilan, gajah juga dapat mengoordinasikan pergerakan kelompok mereka dalam jarak jauh.
Kurt Fristrup, seorang ilmuwan peneliti di Walter Scott, Jr. College of Engineering di CSU, mengembangkan teknik pemrosesan sinyal baru untuk mendeteksi perbedaan halus dalam struktur panggilan ini.
Fristrup dan Pardo melatih model mesin pembelajaran untuk mengidentifikasi dengan tepat gajah mana yang menerima panggilan tersebut hanya berdasarkan pada fitur akustiknya. Penelitian berlangsung selama empat tahun dan mencakup 14 bulan kerja lapangan intensif di Kenya, mengikuti gajah di dalam kendaraan dan merekam vokalisasi mereka.
Sekitar 470 suara panggilan berbeda ditangkap dari 101 pemanggil unik yang berkorespondensi dengan 117 penerima unik di Cagar Alam Nasional Samburu dan Taman Nasional Amboseli.