Kenapa Dinasti Ming Pindahkan Ibu Kota Kekaisaran Tiongkok ke Beijing?

By Ade S, Selasa, 18 Juni 2024 | 18:03 WIB
Shenwumen Gate dari Kota Terlarang di Beijing. Temukan alasan Dinasti Ming memindahkan ibu kota ke Beijing, dan bagaimana hal itu mengubah sejarah Tiongkok. (kallgan)

Nationalgeographic.co.id—Pemindahan ibu kota ke Beijing oleh Dinasti Ming merupakan sebuah langkah strategis yang membentuk masa depan Tiongkok.

Keputusan ini tidak hanya mengubah peta politik, tetapi juga mempengaruhi budaya dan arsitektur yang kita lihat hari ini.

Mengapa sebuah dinasti yang berkuasa memutuskan untuk mengambil langkah drastis ini? Apa dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh perpindahan ibu kota tersebut?

Ikuti pembahasan mendalam kami untuk mengetahui lebih lanjut. Artikel ini akan membawa Anda menyelami kebijakan Dinasti Ming dan warisan yang ditinggalkannya bagi Beijing modern.

Nama Pertama yang Terukir pada Botol Bir Murah

Untuk mengungkapnya, mari kita simak pemaparan sejarawan Lars Ulrik Thom dari Beijing Postcards, dalam ceramah tentang sejarah Beijing berjudul "Looking for the Master Plan."

Ceramah yang diuraikan oleh Jeremiah Jenne di laman The Beijinger tersebut merupakan hasil dari penelitian arsip yang dilakukan oleh Thom bersama timnya dan kajian dari sarjana lokal seperti Hou Renzhi.

Thom menjelaskan, "Terdapat tiga jalur melintasi pegunungan yang bertemu tepat di lokasi Beijing saat ini, dan di selatan terdapat Sungai Yongding. Keempat titik ini menjadi alasan utama pemilihan lokasi Beijing."

Menurut Thom, Beijing merupakan titik perdagangan ideal bagi para nomaden dan masyarakat lainnya di utara pegunungan serta bagi penduduk Dataran Huabei yang luas.

"Ji adalah kota pertama yang terbentuk di dekat lokasi Beijing saat ini... kira-kira 3.000 tahun yang lalu," ucap Thom.

Namun, Ji memiliki pesaing, yaitu Yan, yang terletak sekitar 40 kilometer barat daya dari pusat kota modern.

Baca Juga: Kasus Pil Merah, Kala Kaisar Dinasti Ming Tewas dengan Cara Terlalu 'Aneh'

Thom menambahkan, "Ketika Yan menaklukkan Ji, Yan mengambil alih lokasi Ji. Sejak itu, selalu ada kota di lokasi Beijing saat ini, namun lokasi asli Yan tidak seistimewa area sekitar Ji."

Saat ini, situs bekas Yan memiliki museum yang mengabadikan arkeologi kota kuno tersebut.

Selama era Negara Berperang (473-221 SM), Yan merupakan kerajaan mandiri yang menjadi satu dari tujuh negara bersaing di China. Ketika kerajaan-kerajaan tersebut bersatu di bawah Qin Shihuang, Kaisar pertama China pada tahun 221 SM, negara Yan dan kota Ji menghilang dari lembaran sejarah.

Meski hanya tersisa satu nama awal untuk kota tersebut, "Ibu Kota Yan," atau "Yanjing," namanya tetap abadi dalam botol-botol bir yang murah dan ringan hingga hari ini.

Dengan hilangnya negara Yan, wilayah di sekitar Beijing berubah menjadi daerah pinggiran. Selama hampir seribu tahun, area tempat kita berada saat ini merupakan stasiun perhentian antara peradaban dan stepa, pos terakhir sebelum melewati jalur pegunungan utara menuju ke luar angkasa.

Dijarah Genghis Khan, Dibangun Kublai Khan

Pada abad ke-10 Masehi, wilayah sekitar Beijing mulai berkembang menjadi lebih dari sekedar pos perbatasan. Pada tahun 938, suku Khitan yang berasal dari wilayah yang kini dikenal sebagai Mongolia berhasil menaklukkan bagian utara China.

Mereka menjadikan kota ini sebagai salah satu pusat pemerintahannya. Namun posisinya berubah dari batas akhir peradaban, menjadi gerbang awal dari stepa.

Khitan merupakan salah satu dari tiga dinasti penjajah non-Tionghoa yang menjadikan Beijing sebagai pusat pemerintahan mereka selama empat abad berikutnya.

Sebab, wilayah ini mengalami beberapa kali pergantian kekuasaan. Salah satunya oleh suku Jurchen. Leluhur suku Manchu dari pegunungan dan hutan di dekat perbatasan Tiongkok-Korea modern ini berhasil mengalahkan Khitan dan menguasai kota pada tahun 1122.

Jurchen berhasil menaklukkan sebagian besar wilayah utara Tiongkok. Mereka lalu mendirikan ibu kota mereka yang baru di barat daya Jalan Lingkar Kedua saat ini, dikenal sebagai "Ibu Kota Tengah," atau Zhongdu.

Baca Juga: Da-Hong Pao, Teh Termahal di Dunia dari Dinasti Ming, 'Tembus' Belasan Miliar Rupiah

Namun, bangsa Mongol di bawah pimpinan Genghis Khan adalah yang paling terkenal. Hal tersebut terjadi setelah mereka menjarah Zhongdu pada tahun 1215 dalam upaya ekspansi kekaisaran mereka yang luas hingga ke Asia dan Eropa.

Bangsa Mongol juga berperan penting dalam membentuk wajah Beijing modern. Enam puluh tahun setelah penjarahan Zhongdu, Kublai Khan, cucu Genghis Khan, memindahkan ibu kota dari Shangdu ke kota baru di timur laut Zhongdu lama.

Kota baru ini, yang dibangun di lokasi Beijing saat ini, disebut Khanbaliq dalam bahasa Mongol, atau "Kota Khan." Dalam bahasa Tionghoa, kota ini dikenal sebagai "Ibu Kota Besar" atau Dadu. Beberapa situs bersejarah, jalan, dan hutong di Beijing saat ini masih menyimpan jejak dari masa pemerintahan Mongol.

Meskipun bangsa Mongol berhasil menaklukkan sebagian besar dunia yang dikenal saat itu, mereka tidak dapat mempertahankan kekuasaan atas Tiongkok untuk waktu yang lama.

Semakin Mantapnya Posisi Beijing di Bawah Dinasti Ming

Kurang dari satu abad setelah pemindahan ibu kota ke Dadu, sebuah pemberontakan besar berhasil mengusir bangsa Mongol kembali ke pegunungan dan stepa. Pemberontak tersebut adalah Dinasti Ming.

Namun, Dinasti Ming lebih memilih Nanjing yang berada di Selatan, sebagai pusat pemerintahan mereka. Meski demikian, mereka tetap memperkuat wilayah Utara.

Hal ini dilakukan untuk mencegah orang-orang Mongol kembali menyerang. Untuk itulah pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang, mengirim putranya yang cakap, Zhu Di, ke wilayah sekitar Khanbaliq lama. Tujuannya satu: mengamankan wilayah utara.

Zhu Di lalu memperkuat pertahanan dengan menambahkan batu bata dan menara pada tembok tanah yang sudah ada untuk melindungi perbatasan utara Tiongkok. Dia juga berhasil melancarkan beberapa serangan terhadap wilayah Mongol dan menjaga keamanan kerajaan.

Namun prestasi tersebut tidak cukup untuk membuat ayahnya memilih dirinya sebagai pengganti. Ketika ayahnya meninggal dunia, Zhu Di tidak dipilih sebagai pengganti dan posisi tersebut diberikan kepada salah satu cucu Zhu Yuanzhang.

Zhu Di tidak terima dengan keputusan tersebut. Dia mengumpulkan pasukannya, bergerak ke selatan, dan menyerang istana keponakannya. Nasib keponakan itu tidak diketahui pasti; ada yang percaya dia melarikan diri ke barat sementara yang lain meyakini dia tewas terbakar hidup-hidup di kamarnya sendiri saat pasukan pamannya membakar istana.

Baca Juga: Mangkuk Ayam Jago: Warisan Dinasti Ming yang Melegenda di Indonesia

Perebutan tahta oleh Zhu Di menjadikan Nanjing sebagai tempat yang terlalu berbahaya - baik dari segi politik maupun secara literal - untuk dijadikan tempat tinggal.

Atas alasan itulah, salah satu langkah awal Zhu Di setelah menjadi kaisar (dan menghapus nama keponakannya dari catatan sejarah) adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Nanjing ke wilayah kekuasaannya di utara.

Dari tahun 1403 hingga 1420, jutaan pekerja bersama ribuan seniman, pengrajin, insinyur, dan arsitek bekerja keras membangun ibu kota baru di atas puing-puing kota Mongol yang lama.

Mereka mendirikan tembok dan gerbang kota yang bertahan hingga dekade 1950-an, serta membangun istana megah Kota Terlarang dan altar Kuil Surga.

Zhu Di, yang memerintah dengan gelar Kaisar Yongle, adalah sosok yang paling berpengaruh dalam membentuk wajah Beijing seperti yang kita kenal saat ini. Meski tembok dan gerbangnya telah tiada, jejak mereka masih terasa dalam bentuk jalan lingkar serta nama-nama jembatan dan stasiun metro Jalur 2.

Penguasa yang datang setelahnya, mulai dari bangsa Manchu dari Dinasti Qing hingga negara-negara modern Republik Tiongkok dan Tiongkok Baru, juga meninggalkan bekas mereka di kota ini.

Masing-masing memiliki visi tersendiri untuk Beijing, yang mengubah wajah ibu kota kekaisaran menjadi pusat industri, brigade produksi, dan perencanaan kota kontemporer.

Kini, Beijing telah bertransformasi sekali lagi dengan gedung pencakar langit yang menjulang dan pusat perbelanjaan mewah menggantikan hutong dan kuil-kuil lama.

Kota ini tidak pernah berhenti berkembang. Selama lebih dari 3.000 tahun, wilayah ini telah menjadi saksi bisu atas kehidupan raja-raja, pejuang, sarjana, biksu, pedagang, dan rakyat jelata.

Berbagai kota telah bangkit dan lenyap sepanjang sejarah, namun setiap era memberikan kontribusi uniknya kepada DNA Beijing yang kita kenali hari ini.

Dengan memahami alasan Dinasti Ming memindahkan ibu kota ke Beijing, kita dapat menghargai lebih dalam sejarah dan evolusi kota ini. Kisah ini adalah bagian penting dari mozaik yang membentuk identitas Beijing saat ini.