Sejarah Kelam Denmark-Inggris: Dari Penjarahan hingga Pembantaian

By Tri Wahyu Prasetyo, Kamis, 20 Juni 2024 | 12:10 WIB
Ilustrasi Pembantaian St. Brice's Day yang terjadi pada tahun 1002. Alih-alih menyerah, para Viking justru semakin brutal dalam balas dendamnya. (Via Midjourney for National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Jeritan dan tangisan memecah keheningan pagi di Inggris pada tahun 1002 Masehi. Kala itu terjadi serangan brutal yang kelak dikenal sebagai Pembantaian St. Brice's Day.

Pertistiwa itu menjadi saksi bisu dari puncak ketegangan antara penduduk Inggris dan para pendatang Viking Denmark yang telah lama menghuni tanah mereka.

Di balik peristiwa tragis ini terbentang sejarah panjang kehadiran Viking di Inggris. Sebuah kisah yang dimulai dari serbuan para penjarah hingga pembentukan kerajaan, dan berakhir dengan pembantaian yang menandai akhir dominasi mereka.

Mari telusuri perjalanan Viking Denmark di Inggris, mengungkap ambisi, konflik, dan pertukaran budaya yang membentuk sejarah kedua bangsa ini.

Penyerbuan Viking Denmark: Penjarah dan Penakluk

Dilansir laman Historical Association, awalnya Viking Denmark datang ke Inggris sebagai penjarah, terdorong oleh keinginan akan kekayaan, tanah, dan sumber daya.

Pada abad ke-8 dan ke-9, gelombang demi gelombang serangan Viking menerjang pantai Inggris. Mereka menjarah, membakar, dan menghancurkan, meninggalkan jejak kehancuran di mana pun mereka lewat.

"Selama periode ini, sekitar 200.000 orang meninggalkan Skandinavia untuk menetap di tanah lain," kata Lise Brix, dalam tulisannya.

Kehadiran "Tentara Besar Orang Kafir" (Great Heathen Army) semakin memperkuat cengkeraman Viking di Inggris.

Pasukan ini, dengan strategi dan organisasi yang kuat, berhasil menaklukkan wilayah-wilayah penting dan mendirikan Danelaw, sebuah wilayah di Inggris yang tunduk pada hukum dan budaya Denmark.

Danelaw bukan hanya sekadar wilayah administratif, tetapi juga simbol kuat dari kehadiran dan pengaruh Viking di tanah Inggris.

Baca Juga: Dosa Besar Budaya Populer: Gambarkan Viking Hanya Sebagai Mesin Perang

Pembantaian St. Brice's Day 

Tahun 1002 Masehi menandai titik balik dalam hubungan antara Viking dan Inggris. Raja Ethelred II, yang merasa terancam oleh pengaruh Viking yang semakin kuat, membuat keputusan yang akan berakibat fatal.

Didorong oleh rasa takut dan ketidakpercayaan, ia memerintahkan pembantaian massal terhadap penduduk Viking di Inggris.

Peristiwa ini, yang dikenal sebagai Pembantaian St. Brice, terjadi pada hari raya St. Brice, 13 November, dan menjadi tragedi yang mengerikan.

Para wanita dan anak-anak turut menjadi target serang brutal ini.  Mereka dibunuh tanpa ampun di gereja, rumah, maupun di jalanan.

Kisah-kisah mengerikan tentang pembantaian ini tercatat dalam sejarah, menggambarkan kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang Inggris. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah tentang Gunnhild, istri Raja Sweyn Forkbeard, yang dibunuh bersama putranya di Winchester.

"Pembantaian St. Brice adalah peristiwa yang menandai berakhirnya era dominasi Viking di Inggris," kata Lise. "Peristiwa ini memicu kemarahan dan balas dendam dari Viking, yang dipimpin oleh Cnut the Great."

Cnut memimpin serangan besar-besaran ke Inggris, yang berlangsung selama bertahun-tahun. Serangan-serangan ini menghancurkan Inggris, menghancurkan kota-kota, dan memperlemah ekonomi.

Pembantaian St. Brice, yang awalnya dimaksudkan untuk melemahkan Viking, justru memperkuat tekad mereka untuk menaklukkan Inggris.

Pembantaian ini juga menghancurkan kepercayaan antara Viking dan Inggris. Hubungan yang sudah tegang menjadi semakin buruk, dan jalan menuju perdamaian menjadi semakin sulit.

Puncak Kejayaan: Kerajaan Denmark di Bawah Cnut the Great

Meskipun Pembantaian St. Brice's Day menjadi pukulan telak bagi komunitas Viking di Inggris, ambisi mereka untuk menguasai tanah Inggris tidak padam.

Pada tahun 1013, Sweyn Forkbeard, seorang raja Viking yang ambisius dan ahli strategi, berhasil menaklukkan seluruh Inggris. Kepemimpinan Forkbeard membuka jalan bagi putranya, Cnut the Great, untuk naik takhta.

Cnut tidak hanya dikenal sebagai seorang pemimpin militer yang ulung, tetapi juga sebagai seorang negarawan yang visioner.

Di bawah pemerintahannya, Inggris mengalami masa kemakmuran dan stabilitas. Cnut berupaya menyatukan Inggris dan tanah airnya, Skandinavia, di bawah panji Kekaisaran Laut Utara.

Visi ambisiusnya ini mencerminkan kekuatan dan pengaruh Viking yang telah mengakar di Inggris. Namun, kejayaan ini tidak berlangsung lama. Setelah kematian Cnut pada tahun 1035, kerajaan yang dibangunnya mulai goyah.

Perebutan kekuasaan di antara ahli warisnya, ditambah dengan meningkatnya perlawanan dari faksi Anglo-Saxon, menyebabkan ketidakstabilan politik dan melemahnya kekuasaan Denmark.

Warisan Viking di Tanah Inggris

Lebih dari sekadar penakluk, bangsa Viking membawa serta keahlian, tradisi, dan inovasi yang meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah Inggris.

Pertama, Viking adalah petani yang terampil. Mereka memperkenalkan metode pertanian baru, seperti sistem pergiliran tanaman dan penggunaan pupuk organik, yang meningkatkan produktivitas pertanian di Inggris.

Keahlian mereka dalam pengelolaan lahan membantu meningkatkan hasil panen dan menopang pertumbuhan ekonomi.

Kemudian, tak diragukan lagi, Viking adalah pelaut dan pedagang yang berpengalaman. Mereka membangun jaringan perdagangan yang luas, menghubungkan Inggris dengan Skandinavia dan benua Eropa lainnya.

Mereka membawa serta barang-barang dari berbagai daerah, memperkaya perdagangan dan ekonomi Inggris. Keterampilan mereka dalam pembuatan kapal, khususnya, sangat penting untuk pengembangan industri maritim Inggris.

Terakhir, Viking meninggalkan jejak budaya yang mendalam di Inggris. Mereka memperkenalkan bahasa, tradisi, dan kepercayaan mereka, yang bercampur dengan budaya Anglo-Saxon dan membentuk identitas budaya Inggris yang lebih kaya.

Meskipun kedatangan Viking di Inggris awalnya diwarnai oleh konflik, mereka akhirnya memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan masyarakat Inggris.