Di Belanda, mereka tiba pada bulan Oktober 1913. Idealisme politik mereka masih berkobar, dan darah perjuangan Partai Hindia masih menyala di tengah keterasingan dari negeri sendiri.
Soewardi berusaha mencari penghidupan di Belanda dengan berkontribusi pada surat kabar dan majalah di Hindia Belanda dan Belanda. Selain itu juga, "Soewardi mencari penghidupan lain dengan mengajar," imbuh Ronald.
Soewardi Soerjaningrat mulai mendirikan majalah Hindia Poetra, tetapi tidak bertahan lama. Hanya berlangsung selama dua tahun, 1916-1917, lalu kemudian ia meninggalkan majalah itu.
Terlebih, Soewardi yang harus menghidupi seorang istri dan dua anak, mengalami kehidupan yang sulit di Belanda. Namun, yang mengherankan, surat perintah pengasingan atau interniran yang dikeluarkan terhadap Soewardi dicabut.
Surat pengasingan ke Belanda yang dikeluarkan pada 18 Agustus 1913, tiba-tiba dicabut pada 17 Agustus 1917. Namun, diperbolehkannya Soewardi kembali ke Jawa, tak langsung disetujuinya.
Soewardi masih terus bertahan di Hindia. Titik baliknya terjadi pada November 1918, di mana ia mendirikan Indonesische Persbureau, kantor berita pertama yang didirikan seorang bumiputra Indonesia di Fahrenheitstraat 473, Den Haag, Belanda.
Indonesische Persbureau atau 'Kantor Berita Indonesia' adalah kantor pers yang memulai penggunaan nama resmi Indonesia dalam penamaannya. Kantor berita itu mulai menjadi banyak diperbincangkan hingga ke Hindia.
Pada paruh kedua tahun 1919, ia dan keluarganya melakukan perjalanan ke Jawa. Di sana Soewardi mendirikan gerakan pendidikan anti-kolonial pertama, bernama sekolah Taman Siswa pada tahun 1922.
Taman Siswa berarti Taman Para Murid. Pun dalam gejolak perjuangannya di bidang pendidikan yang merdeka itu, Soewardi yang berusia 40, memilihkan nama Dewantara sebagai nama perjuangannya. Ki Hajar Dewantara yang kemudian dikenal luas.
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi itu, mulai diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kemudian, nama "Indonesia" menemukan arahnya menuju muatan identitas politis.
Nama Indonesia mulai disandingkan dengan semangat menuju kemerdekaan suatu bangsa, dengan cita-cita besar untuk terlepas dari belenggu imperialis, serta mampu berdiri di atas kakinya sendiri.
Nama Indonesia semakin melesat seiring dengan Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, mengubah nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia pada 1922.
Tahun-tahun berikutnya, sejumlah perserikatan dan perhimpunan mulai menggunakan nama Indonesia. Sampai dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda".
Titik kulminasi dari penyematan Indonesia sebagai bagian konstitusi dan kebangsaan terwujud pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan menyusulnya deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, hingga lahirlah Republik Indonesia.