Tangsi KNIL di Tepian Siak, Tengara Kuku Kolonialisme di Pedalaman Riau

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 22 Juni 2024 | 20:18 WIB
Tangsi KNIL di tepian Sungai Siak telah meninggalkan sebutan toponimi 'Benteng Hulu' bagi warga setempat. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—"Traktat Siak 1858 menjadikan benda ini kemudian dibangun," kata Bayu Amde Winata. Menurutnya, tidak semua kawasan di Indonesia dijajah 350 tahun. Salah satunya, Kesultanan Siak di Riau.

Kesultanan Siak baru resmi dimasukkan dalam teritori Hindia Belanda setelah perjanjian Kesultanan Siak dan pemerintah Hindia Belanda pada 1858. Boleh dikata, sebelum traktat, Siak adalah negeri yang merdeka.

Siak adalah "kerajaan merdeka yang menguasai 16 daerah dimulai dari aceh tamiang hingga Sungai Rokan di Provinsi Riau serta Tapung Petapahan mewakili pantai barat Sumatra," ujarnya. 

Bayu merupakan pegiat Pekanbaru Heritage Walk. Ia juga penulis buku sejarah kotanya bertajuk Pakan Baroe Nadi Sumatra yang Terlupakan dan Datuk Laksemana Raja Dilaut 1800-1928, Penguasa Perairan Kerajaan Siak yang keduanya terbit pada akhir tahun lalu.

Bayu adalah pegiat Pekanbaru Heritage Walk. Ia juga penulis buku sejarah kotanya bertajuk "Pakan Baroe Nadi Sumatra yang Terlupakan". Kami berkesempatan berjumpa di sebuah kedai di Pekanbaru dua hari silam.

Foto bertajuk 'Garnizoen Siak Sri te Indrapoeri' sekitar 1895 dan 1897. Tangsi ini bagian perkembangan permukiman Eropa di Siak Sri Indrapura. (KITLV)

Kesultanan Siak yang berdiri pada 1723, memiliki kedudukan penting dalam perdagangan rempah. Bayu mengatakan bahwa kesultanan ini memiliki empat pelabuhan, berturut-turut dari hulu: Petapahan, Pekanbaru atau toponimi lamanya Senapelan, Siak, Bukit Batu, dan Bengkalis.

"Empat pelabuhan ini menjadi pemain kunci dari perjalanan komoditas jalur rempah di Sumatra Tengah, yaitu gambir yang berasal dari Pantai Barat Sumatra, timah, serbuk emas, dan telur ikan terubuk," ujarnya. Dia menambahkan, "Penguasaan Kerajaan Siak akan hulu (Sungai Siak) hingga hilir (Bengkalis) menyebabkan VOC Malaka kemudian menjadikan Kerajaan ini sebagai mitra strategis perdagangan pada abad ke 18."

Kesultanan Melayu Islam ini memiliki kuasa atas Sumatra, Semenanjung Malaya hingga ke perairan Natuna. Pusat kerajaannya pun berpindah-pindah, namun berada di tepian sekitar Sungai Siak, nadi Pekanbaru. Sang pendiri, Raja Kecik, adalah putra mahkota Sultan Johor Mahmud Syah II.

Tangsi KNIL di tepian Sungai Siak, Kampung Benteng Hulu, Riau. Riwayatnya berkait dengan Traktat Siak, ketika Siak harus menjadi bagian Hindia Belanda. (National Geographic Indonesia)

Jelang akhir tahun silam, National Georaphic Indonesia singgah di sebuah tangsi KNIL di tepian Sungai Siak. Warga setempat menandai toponimi kawasan itu sebagai "Benteng Hulu". Bila kita menyusuri Sungai Siak dari arah muara, tangsi ini berada beberapa kilometer sebelum Istana Siak Sri Indrapura.

Baca Juga: Tangsi KNIL di Tepian Siak, Tengara Kuku Kolonialisme di Pedalaman Riau

Sejatinya, kita tidak salah menyebutnya benteng. Nadia Purwesti, Direktur Eksekutif Pusat Dokumentasi Arsitektur, dalam laporannya bertajuk Tangsi Belanda Siak, Perencanaan Bangunan Gedung Cagar Budaya Laporan Penelitian Arsitektur dan Sejarah, mengungkapkan bahwa terdapat peta bertahun 1898 yang menyebut tangsi ini sebagai "redoute"—bangunan pertahanan kecil.

Biasanya, benteng-benteng besar dimulai dari pembangunan redoute. Pun pada awalnya, tangsi ini juga dikelilingi tembok. Namun, tembok keliling itu dibongkar dan digantikan dengan pagar kawat berduri pada 1894.

Sejak Traktat Siak ditandatangani, Sultan memberikan sepetak kawasan di seberang pusat pemerintahannya. Ministerie van Kolonien—atau Kementerian Daerah Jajahan Belanda—merencanakan pembangunan kantor pengadilan, kontrolir, dan tangsi KNIL. 

Laporan dari Nadia juga menunjukkan bahwa bangunan ini mulai direncanakan pada 1858 dan dibangun pada 1860. Ia mendapatkan sumber dari arsip koleksi Koninklijke Bibliotheek yang berupa surat kabar Samarangh’s Advertentie Blad edisi 2 Juli 1858.

Nadia mengungkapkan, surat kabar itu memberitakan mengenai rencana pendirian bangunan pertahanan di Siak yang dikemukakan oleh Ministerie van Kolonien. Kita tidak menemukan siapa arsitek tangsi ini, namun kita bisa menduga bahwa divisi zeni KNIL yang melaksanakan pembangunannya.

Foto berjudul 'Kazerne te Siak Sri Indrapoera' sekitar 1910. Bangunan ini mencerminkan posisi strategis dan kekuatan Kesultanan Siak dalam jalur perdagangan internasional di Selat Malaka. (KITLV)

Nadia mengungkapkan bahwa sejauh ini kita belum mengetahui kapan persisnya pembangunan tangsi KNIL ini bermula. Surat kabar Bataviaasch Handelsblad edisi 15 September 1860, memberitakan bahwa bangunan pertahanan di Siak sedang dibangun.

"Hingga bangunan tersebut selesai dibangun, maka para serdadu yang ditugaskan di Siak akan bertempat tinggal sementara di dalam kapal pengangkut," tulisnya.

Ia juga menunjukkan koleksi Koninklijke Bibliotheek di Den Haag berupa arsip  Padangsch nieuws en adverntentie blad edisi 24 November 1860. Surat kabar itu mengutip Strait Times, sebuah surat kabar yang terbit di Singapura, yang mengabarkan bahwa pemerintah Hindia Belanda sedang membangun sebuah bangunan pertahanan di Siak sekaligus mengubah kawasan bangunan itu menjadi pemukiman militer.

Arsip koleksi Perpustakaan Nasional, yang berupa Staatsblad van Nederlandsch-Indië nomor 115 tahun 1860, memasukkan tangsi KNIL ini sebagai bangunan pertahanan kelas empat. Bangunan pertahanan kelas empat, ungkap Nadia, yakni bangunan militer yang terdiri atas pos penjagaan dari serangan orang lokal.

Ia juga menambahkan bahwa bangunan pertahanan kelas empat biasanya mampu menampung 200 serdadu. Dokumen pemerintah itu menyebut juga tangsi ini sebagai "redoute".

Sejak 1860 sampai 1892, bangunan ini menjadi tangsi KNIL. Nadia menemukan catatan perjalanan J.S.G. Gramberg ke Siak yang terbit di surat kabar Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad edisi 9 April 1864.

Bangunan pertahanan ini kondisinya tampak sangat baik dan memiliki arsitektur yang baik pula, demikian menurut catatan Gramberg. Tangsi Siak dibangun jauh lebih kokoh dengan perlengkapan yang lebih baik daripada banteng di Bengkalis, imbuhnya, karena lokasinya berada di tanah gambut. Perihal material yang digunakan untuk membangun tangsi KNIL ini, Gramberg mencatat, dipasok dari Singapura.

'Kabar dari Selat Malaka' merupakan laporan jurnalistik National Geographic Indonesia dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. (National Geographic Indonesia)
 

Nadia menggunakan pendekatan peta-peta lama untuk menapak jejak perkembangan kota Siak, termasuk tangsi ini. Pada peta Siak bertahun 1920, ia menunjukkan perkembangan tangsi militer di seberang sungai itu.

Namun, "pada peta ini terlihat bangunan pertahanan sudah lebih besar," tulisnya, "terdiri dari beberapa massa bangunan yang dikelilingi oleh pagar tembok." Masa berikutnya, Komando Militer dan Konsul Dagang menempatinya sampai Hindia Belanda tamat. Peta bertahun 1930 menunjukkan fungsi bangunan itu secara detail sebagai "Military Barracks" dan "Military Club".  

Ketika Jepang mewarisi kuasa atas Hindia Belanda, bangunan ini menjadi tangsi serdadu dan balai kesehatan untuk tentara Jepang. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, bekas tangsi ini digunakan sebagai sekolah, kantor kecamatan dan terminal agen perjalanan. Sederet foto yang dipajang di ruang pamer museum juga membuktikan bahwa tangsi ini memang pernah digunakan sebagai sekolah pada awal kemerdekaan.

Kondisi bangunan tangsi ini pernah terabaikan dan rusak selama bertahun-tahun. Sampai upaya konservasi yang memulihkan bangunan mulai menyentuhnya pada 1996. Setiap bangunan tua memiliki jiwa kota yang bersamayam dalam relung-relung arsitekturnya.

Mengapa tangsi KNIL ini penting bagi sejarah Riau? Nadia mengungkapkan bahwa tangsi ini menjadi "salah satu dari sedikit bangunan Neo Klasik peninggalan Belanda di Siak," tulisnya. "Bangunan ini mencerminkan posisi strategis dan kekuatan Kesultanan Siak dalam jalur perdagangan internasional di Selat Malaka."

  

—Kisah ini merupakan bagian "Kabar dari Selat Malaka", laporan jurnalistik National Geographic Indonesia dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024.