Suasana Pasar Lelang Rempah dan Budak Aceh Darussalam Abad ke-17

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 26 Juni 2024 | 12:20 WIB
Adegan reka ulang sejarah yang menampilkan gerai penukaran uang pada zaman Aceh Darussalam abad ke-17. Mata uang dari pedagang berbagai bangsa ditukar dengan emas, dolar Spanyol, dan dirham. Pentas teater ini digelar untuk menyambut KRI Dewaruci yang membawa Laskar Rempah Batch-2 'Kayu Manis' di Pelabuhan Sabang. Pengunjung atau pemirsa pentas ini bisa berinteraksi langsung dengan para pedagang, pengemis, dan bangsawan semasa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sang Ratu merupakan putri dari mendiang Sultan Iskandar Muda, sekaligus janda dari Sultan Iskandar Tsani. Gelarnya, Paduka Sri Sultanah Tajul-’Alam Safiatuddin Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum.

Pentas ini menampilkan Aceh yang begitu kosmopolitan, suatu masa dalam kurun waktu seratus tahun, dari zaman Iskandar Muda sampai masa kejatuhan Aceh.

Baragam bangsa dengan busana tradisi masing-masing berseliweran di antara pemirsa teater itu: Turki, India dari Pantai Surat dan Koromandel, Siam, Tiongkok, juga pedagang Nusantara dari Jawa dan Bugis. Mereka singgah karena menanti datangnya angin monsun. Sembari menunggu, mereka berbaur dengan warga. Budaya, etika, ilmu pengetahuan dan teknologi pun bertukar. Perjumpaan-perjumpaan inilah yang akhirnya membentuk kita sebagai bangsa yang bineka.

Sebagian rempah-rempah yang menjadi dagangan utama Aceh Darussalam. Pedagang Arab pernah menjuluki ujung Sumatra ini sebagai 'Lamri' atau 'Lambri'. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pentas teatrikal pasar rempah itu menampilkan beragam gerai-gerai yang menjual rupa-rupa barang dagangan. Mereka menjajakan merica, pala, cengkih, kapulaga dan jintan. Selain pusparagam rempah, para pedagang juga memasarkan beragam barang seperti gading gajah dan pewarna kain. Ada pula kemah-kemah pedagang asing.

Saya menghampiri seorang lelaki bercambang yang mengenakan ikat kepala dan penutup mata—mirip sosok dalam cerita-cerita bajak laut. Lelaki itu menggelar gerai dagangannya berupa bahan-bahan untuk pewarna kain seperti biji saga, kulit pinang, kunyit, dan biji kesumba. 

Ia adalah Azhari Aiyub, sang penulis skenario pementasan ini. Sosoknya beken sebagai penulis novel Kura-kura Berjanggut, yang terbit pada 2021. Kami berbincang tentang proses di balik menghimpun narasi untuk pementasan ini.

Suasana transaksi di gerai-gerai rempah yang mengambil latar Aceh Darussalam pada masa Sultanah Safiatudin, yang bertakhta pada 1641-1675. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Menurutnya, banyak penulis buku yang karya-karya mereka bisa kita jadikan acuan untuk gambaran pasar rempah pada abad ke-17—seperti buku klasik History of Sumatra karya William Marsden; Kerajaan Aceh, Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) karya sejarawan Prancis, Denys Lombard; atau buku karya Leonard Y. Andaya bertajuk Dunia Maluku: Indonesia Timur pada Zaman Modern Awal.

"Saya sudah lama membaca literatur itu untuk novel saya," ujar Azhari. "Jadi ini percikan-percikan atau bagian-bagiannya." 

Ia menambahkan bahwa sifat pasar ini sejatinya terus berubah tergantung dengan penguasanya. Adakalanya, komoditas-komoditas itu masuk dalam pasar monopoli. Namun, adakalanya komoditas-komoditas itu masuk dalam pasar bebas.

"Jadi lelang ini sebenarnya bagian dari liberalisme," ujarnya. "Tapi, dalam waktu-waktu tertentu monopoli total—orang lain tidak boleh jual, cuma dia yang menjual. Ini menjadi permusuhan klasik dengan VOC karena VOC juga ingin memonopoli sepanjang pantai barat setelah mereka menemukan pulau rempah-rempah."