Suasana Pasar Lelang Rempah dan Budak Aceh Darussalam Abad ke-17

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 26 Juni 2024 | 12:20 WIB
Adegan reka ulang sejarah yang menampilkan gerai penukaran uang pada zaman Aceh Darussalam abad ke-17. Mata uang dari pedagang berbagai bangsa ditukar dengan emas, dolar Spanyol, dan dirham. Pentas teater ini digelar untuk menyambut KRI Dewaruci yang membawa Laskar Rempah Batch-2 'Kayu Manis' di Pelabuhan Sabang. Pengunjung atau pemirsa pentas ini bisa berinteraksi langsung dengan para pedagang, pengemis, dan bangsawan semasa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Tangsi KNIL di Tepian Siak, Tengara Kuku Kolonialisme di Pedalaman Riau

 

'Kabar dari Selat Malaka' merupakan laporan jurnalistik National Geographic Indonesia dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. (National Geographic Indonesia)

Perkara monopoli bukan hanya VOC. Ketika Portugis menguasai Malaka, mereka melakukan hal yang sama karena Portugis memiliki jaringan perdagangan dari India, Malaka, Makau, bahkan sampai Jepang. "Dari beberapa penguasa lautan inilah mereka memonopoli rantai pasokan itu," ujarnya. "Dan, Kerajaan Aceh Darussalam mengambil salah satu bagiannya."

"Semua raja-raja di sini adalah pedagang," imbuh Azhari. Keadaan ini berbeda dengan Mataram karena berada di pedalaman Jawa. Namun, Kerajaan Banten yang bertakhta di Jawa bagian barat memiliki perairan laut sehingga menyebut dirinya sebagai pedagang. "Sama juga dengan kerajaan Aceh, Johor, sebelumnya Malaka, mereka menyebut diri mereka adalah pedagang," ujarnya. "Ada sedikit liberalisme di sana."

Azhari juga mengungkapkan tentang pentas teater yang melibatkan masyarakat yang hadir. "Ini berbeda sekali dengan teater di dalam gedung, berjarak," ujarnya. "Di sini ada partisipasi pengunjung, semakin partisipatif, semakin berhasil pentas ini."

Pedagang-pedagang asal Turki Usmani yang berdagang sampai ke Aceh Darussalam. Kedekatan dua negeri dagang itu hidup dalam tradisi tutur maupun catatan sejarah Aceh. (Okky Anak Dolan)

Selain menampilkan pedagang dan pelelang rempah, pentas ini juga menampilkan kehidupan sehari-hari warga Aceh pada abad ke-17. Salah satunya, catoe rimung—atau catur harimau—yang sejatinya permainan tradisi Nusantara.

"Ini sangat terkenal di Belanda pada waktu pengkhianatan Teuku Umar," terang Azhari. Setelah tokoh Aceh itu berbelok kepada Aceh lagi "industri-industri mainan di Belanda membuatnya dengan nama 'Catur Teuku Umar'. Itu sangat heboh di Belanda."

Sejatinya persiapan pementasan ini terbilang pendek—hanya tiga minggu. Azhari menyarikan naskah dari riset-riset. Berkat kolaborasi pegiat seni teater di Banda Aceh dan Sabang, pentas sepanjang hampir satu jam ini terbilang sukses. "Improvisasi mereka yang telah memperkaya naskah saya," imbuhnya.

Seorang sangkilat—mata-mata yang bekerja untuk Sultan—sedang memantau lalu lintas perdagangan rempah dari sebuah menara. Sosok ini mengingatkan kita pada Ujud, tokoh fiksi dalam novel 'Kura-kura Berjanggut'. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Siapakah pemeran lelaki pelelang rempah yang berbaju merah? Fozan Santa, sang sutradara dalam pertunjukan ini. Ia telah dikenal sebagai penulis dan pegiat film dan teater di Banda Aceh. 

Fozan mengungkapkan bahwa pentas ini didukung sekitar 50 pegiat teater dari Banda Aceh dan 20 pegiat teater dari Sabang. Mereka berasal dari komunitas Sanggar Saleum, Studiklub Pekerja Teater Aceh (Sparta), Teater Sapulidi, Teater Mata, Meusajan-art, Teater Home, Teater Rongsokan, Kelompok seni Sabang, dan Komunitas seni KEBAS.

"Sejarah adalah masa depan terbaik buat kita," ungkapnya. "Kebaikan hidup dan kemajuan kebudayaan bangsa Aceh dalam sebuah koneksi niaga rempah global yang kosmopolitan memberikan nilai moral, ekonomi dan kesenian yang abadi."

Ia berharap semoga pementasan ini menjadi metode baru untuk menjelajah masa silam penuh warna. "Kami ingin menggugah makna tersebut buat generasi terkini lewat pentas itu. Juga sebagai aksi pemajuan kebudayaan yang sudah menjadi regulasi pemerintah. Saya kira itu."

  

—Kisah ini merupakan bagian Kabar dari Selat Malaka, laporan jurnalistik National Geographic Indonesia dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024.