Apakah Metode Eksekusi Mati dengan Guillotine Sangat Menyakitkan?

By Utomo Priyambodo, Rabu, 26 Juni 2024 | 18:00 WIB
Sebuah ilustrasi yang menggambarkan eksekusi mati Louis XVI dengan menggunakan metode guillotine pada tahun 1793 di Place de la Révolution di Paris, Prancis. (Charles Monnet/Isidore-Stanislas Helman/Bibliothèque Nationale de France/ via Wikimedia Commons)

“Saya mendapat kesan bahwa ada mata yang hidup sedang menatap saya,” komentar Beaurieux, seperti dilansir IFLScience.

Namun, sangat mungkin bahwa fenomena yang sering dilaporkan ini hanyalah kejang otot saat tubuh sedang sekarat. Bukan bukti kesadaran yang jelas pasca pemenggalan kepala.

Marie Antoinette, Ratu Prancis, berlutut di depan alat eksekusi guillotine pada hari eksekusi matinya, Oktober 1793. (Wellcome Collection (Public Domain))

Untuk lebih memahami respons otak terhadap pemenggalan kepala, sebuah penelitian pada tahun 2013 memotong kepala beberapa tikus yang dianestesi dengan pisau guillotine mini. Saat dan setelah eksekusi dijalankan, para ilmuwan menggunakan elektroensefalogram untuk mengawasi aktivitas otak tikus tersebut.

Hal ini mengungkapkan bahwa aktivitas otak tikus mengalami “peningkatan signifikan” hingga 15 detik setelah dipenggal, menunjukkan bahwa hewan tersebut mungkin merasakan rasa sakit.

“Respons-respons ini menunjukkan bahwa tikus yang tidak diberi anestesi akan cenderung merasakan pemenggalan kepala sebagai hal yang menyakitkan sebelum timbulnya ketidakpekaan,” makalah studi tersebut menyimpulkan.

Ilmuwan lain tidak begitu yakin. Sebuah studi pada tahun 2023 meninjau bukti yang diketahui tentang apakah kesadaran – dan, oleh karena itu, persepsi rasa sakit – tetap ada setelah pemenggalan kepala.

Studi itu kemudian menyimpulkan bahwa hal tersebut sangat kecil kemungkinannya. Kematian karena pemenggalan kepala, menurut mereka, terjadi hampir seketika.

“Bukti yang tersedia bagi kita saat ini masih sedikit, dan penelitian yang menyiratkan bahwa ada kesadaran yang dipertahankan pada tikus yang dipenggal selama beberapa detik disebabkan oleh ukuran sampel yang rendah. Meskipun bukti terbaik yang ada saat ini menunjukkan bahwa LOC (loss of consciousness/kehilangan kesadaran) terjadi hampir seketika dalam pemenggalan kepala baik pada model manusia maupun hewan pengerat, ada kemungkinan bahwa kebenarannya tidak akan pernah diketahui sepenuhnya,” studi tersebut menyimpulkan.

Jawaban yang lebih jelas terhadap pertanyaan ini mungkin akan segera muncul. Para peneliti terus bermain-main dengan gagasan transplantasi kepala, sementara pemahaman kita tentang kesadaran perlahan tapi pasti berkembang. Ada kemungkinan bahwa bidang studi ini suatu hari nanti akan membawa kita pada sebuah jawaban.