Apakah Metode Eksekusi Mati dengan Guillotine Sangat Menyakitkan?

By Utomo Priyambodo, Rabu, 26 Juni 2024 | 18:00 WIB
Sebuah ilustrasi yang menggambarkan eksekusi mati Louis XVI dengan menggunakan metode guillotine pada tahun 1793 di Place de la Révolution di Paris, Prancis. (Charles Monnet/Isidore-Stanislas Helman/Bibliothèque Nationale de France/ via Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Salah satu metode eksekusi mati yang terkenal di abad-abad lampau adalah guillotine dan ini telah dipakai untuk mengeksekusi mati begitu banyak orang. Namun bagaimana rasanya menjalani eksekusi mati ini?

Apakah dieksekusi dengan guillotine ini sangat menyakitkan? Apakah Anda tetap sadar setelah dipenggal?

Sayangnya, tidak ada orang yang memiliki pengalaman langsung yang bisa menjawab pertanyaan itu. Namun demikian, kita dapat mengumpulkan cukup banyak bukti yang menunjukkan bagaimana pertunjukan dengan guillotine bisa berakhir.

Guillotine adalah alat ikonik yang dirancang untuk memenggal kepala manusia dengan cepat menggunakan pisau besar yang jatuh. Ini paling dikenal sebagai senjata pilihan kaum Revolusioner Perancis yang bersemangat pada abad ke-18.

Metode ini tetap menjadi metode eksekusi di Prancis hingga akhir abad ke-20. Orang terakhir yang dieksekusi dengan guillotine di Prancis adalah Hamida Djandoubi pada 10 September 1977, setelah film Star Wars pertama ditayangkan.

Diperkirakan 15.000 hingga 17.000 orang dipenggal selama Revolusi Perancis. Sebagian besar dari mereka adalah “rakyat biasa”, bukan bangsawan kaya dan bangsawan yang dekaden. Salah satu alasan mengapa guillotine digunakan secara luas pada masa ini adalah karena dianggap manusiawi.

Era sulit dalam sejarah Perancis ini dipicu oleh gagasan Pencerahan, yang berusaha menggantikan kepercayaan irasional dan takhayul Abad Pertengahan dengan akal dan teori baru tentang hak asasi manusia. Bahkan ketika memenggal kepala musuh bebuyutan, kemanusiaan dan martabat mereka harus tetap dihormati – atau setidaknya itulah idenya.

“Pedangnya mendesis, kepalanya jatuh, darah muncrat, manusia itu tidak ada lagi. Dengan mesin saya, saya akan memenggal kepala Anda dalam sekejap mata, dan Anda tidak akan menderita sama sekali,” kata Dr Joseph-Ignace Guillotin, seorang dokter Perancis yang menganjurkan penggunaan guillotine, kepada Majelis Nasional Perancis pada tahun 1789.

Saran tersebut pada awalnya ditertawaka. Namun Majelis Nasional menyetujui penggunaan guillotine pada tahun 1792, dan menyebutnya sebagai “metode mematikan yang paling lembut”.

Ada banyak laporan anekdotal yang menyebutkan bahwa kepala orang-orang tampak tetap sadar setelah terkena guillotine. Namun sulit untuk mengetahui di mana legenda urban yang mengerikan itu berakhir dan fakta mengenai hal itu bermula.

Salah satu kisah paling terkenal terjadi pada tahun 1905 ketika Dr Jacques Beaurieux menyaksikan eksekusi seorang pria di Paris. Setelah pemenggalan kepala, Beaurieux menyadari bahwa kepala yang terpenggal itu masih bergerak, dengan mata berkedut dan bibir mengejang. Dia memanggil nama penjahat itu – “Languille!” – yang membuat pupil matanya menyesuaikan dan dia melebarkan pandangannya “dengan cara yang tepat.”

Baca Juga: Sejarah Dunia: Siapa Itu Anne Boleyn dan Mengapa Ia Dieksekusi?

“Saya mendapat kesan bahwa ada mata yang hidup sedang menatap saya,” komentar Beaurieux, seperti dilansir IFLScience.

Namun, sangat mungkin bahwa fenomena yang sering dilaporkan ini hanyalah kejang otot saat tubuh sedang sekarat. Bukan bukti kesadaran yang jelas pasca pemenggalan kepala.

Marie Antoinette, Ratu Prancis, berlutut di depan alat eksekusi guillotine pada hari eksekusi matinya, Oktober 1793. (Wellcome Collection (Public Domain))

Untuk lebih memahami respons otak terhadap pemenggalan kepala, sebuah penelitian pada tahun 2013 memotong kepala beberapa tikus yang dianestesi dengan pisau guillotine mini. Saat dan setelah eksekusi dijalankan, para ilmuwan menggunakan elektroensefalogram untuk mengawasi aktivitas otak tikus tersebut.

Hal ini mengungkapkan bahwa aktivitas otak tikus mengalami “peningkatan signifikan” hingga 15 detik setelah dipenggal, menunjukkan bahwa hewan tersebut mungkin merasakan rasa sakit.

“Respons-respons ini menunjukkan bahwa tikus yang tidak diberi anestesi akan cenderung merasakan pemenggalan kepala sebagai hal yang menyakitkan sebelum timbulnya ketidakpekaan,” makalah studi tersebut menyimpulkan.

Ilmuwan lain tidak begitu yakin. Sebuah studi pada tahun 2023 meninjau bukti yang diketahui tentang apakah kesadaran – dan, oleh karena itu, persepsi rasa sakit – tetap ada setelah pemenggalan kepala.

Studi itu kemudian menyimpulkan bahwa hal tersebut sangat kecil kemungkinannya. Kematian karena pemenggalan kepala, menurut mereka, terjadi hampir seketika.

“Bukti yang tersedia bagi kita saat ini masih sedikit, dan penelitian yang menyiratkan bahwa ada kesadaran yang dipertahankan pada tikus yang dipenggal selama beberapa detik disebabkan oleh ukuran sampel yang rendah. Meskipun bukti terbaik yang ada saat ini menunjukkan bahwa LOC (loss of consciousness/kehilangan kesadaran) terjadi hampir seketika dalam pemenggalan kepala baik pada model manusia maupun hewan pengerat, ada kemungkinan bahwa kebenarannya tidak akan pernah diketahui sepenuhnya,” studi tersebut menyimpulkan.

Jawaban yang lebih jelas terhadap pertanyaan ini mungkin akan segera muncul. Para peneliti terus bermain-main dengan gagasan transplantasi kepala, sementara pemahaman kita tentang kesadaran perlahan tapi pasti berkembang. Ada kemungkinan bahwa bidang studi ini suatu hari nanti akan membawa kita pada sebuah jawaban.