Dunia Hewan: Apa Penyebab Kematian Populasi Mamut Berbulu Terakhir?

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 13 Juli 2024 | 11:00 WIB
Mamut berbulu telah punah selama ribuan tahun. Apa penyebabnya? (Dottedhippo)

Nationalgeographic.co.id—Para peneliti telah lama mengira bahwa perkawinan sedarah menyebabkan kehancuran genetik pada populasi mamut terakhir. Namun analisis DNA kuno yang baru mengatakan sebaliknya.

Mamut berbulu terakhir hidup di sebuah pulau kecil selama ribuan tahun setelah kerabat mereka yang bergading punah di daratan. Hewan berbulu lebat ini menemukan jalan mereka ke Pulau Wrangel sekitar 10.000 tahun yang lalu. Hewan ini adalah sisa dari spesies yang pernah tersebar di sebagian besar Belahan Bumi Utara. Seperti kerabatnya yang lain, mamut ini juga tidak berhasil bertahan hidup. Sekitar 4.000 tahun yang lalu, mamut berbulu terakhir musnah dan selamanya membuat spesies ini punah.

Tidak ada yang tahu pasti mengapa mamut di Pulau Wrangel akhirnya punah. Namun, analisis genetik terkini menunjukkan bahwa terjadi penyusutan populasi mamut yang parah pada masa ini. Penyusutan populasi itu menyebabkan hewan tersebut rentan secara genetik di dunia yang berubah dengan cepat. Mutasi yang terjadi pada mamut melalui perkawinan sedarah kemungkinan besar tidak membunuh mereka. Tapi malah menjadi faktor penyebab kepunahan yang terjadi selama ribuan tahun.

Dalam sebuah studi, ahli genetika Universitas Stockholm Patricia Pecnerova dan timnya mendokumentasikan perubahan genetik yang dialami kelompok mamut berbulu ini sebelum kematiannya. Data baru mewakili babak terakhir kisah kepunahan yang telah terjadi jauh sebelum mamut tiba di tempat perlindungan terakhirnya.

“Kepunahan terakhir mamut di Pulau Wrangel hanyalah langkah terakhir dari rangkaian peristiwa panjang yang menyebabkan punahnya spesies tersebut,” kata Pecnerova.

Manusia atau perubahan iklim?

Mamut berbulu paling awal berevolusi sekitar 800.000 tahun yang lalu. Hewan ini menyebar hingga Spanyol prasejarah di barat dan wilayah Danau Besar di Amerika Utara di timur.

Ekspansi global mamut berbulu dapat dikaitkan dengan lingkungan khusus yang disukai herbivora raksasa. Dataran terbuka dan berumput yang disebut stepa mamut memperluas jangkauannya selama masa-masa dingin di Zaman Es. Saat itu gletser menutupi lebih banyak wilayah di planet ini. Mamut berbulu adalah hewan pemakan rumput yang tumbuh subur di habitat ini. Berbeda dengan mastodon gajah yang lebih menyukai hutan dan hidup lebih baik pada periode interglasial yang lebih hangat.

Ketika gletser sekali lagi menyusut dan dunia mulai menghangat sekitar 11.700 tahun yang lalu, habitat mamut berbulu sekali lagi mulai menyusut dan mundur ke arah kutub. Manusia purba juga berburu mamut di beberapa bagian wilayah jelajah hewan tersebut. Ditambah lagi, hewan tersebut membutuhkan waktu lama untuk berkembang biak. Gabungan tekanan ini menyebabkan sebagian besar populasi mamut punah.

“Banyak diskusi mengenai peran perubahan iklim dan perburuan manusia,” kata Pecnerova, “konsensus saat ini adalah bahwa kedua hal ini berkontribusi terhadap kepunahan.”

Kepunahan mamut berbulu tidak sama dengan kematian mamut terakhir di Pulau Wrangel. Namun merupakan bagian dari proses yang berlangsung selama ribuan tahun seiring dengan perubahan dunia di sekitar mereka.

Baca Juga: Analisis 23 Genom Kuno Berusia 700.000 Tahun Mengungkap Evolusi Mamut

Pertahanan terakhir

Mamut Pulau Wrangel adalah yang terakhir bertahan. Hewan-hewan tersebut mewakili kasus khusus. Kepunahan anggota terakhir suatu spesies yang bertahan di tempat perlindungan, menghadapi tekanan yang berbeda dari pendahulunya di daratan. Iklim global yang lebih hangat dan basah telah menyebabkan padang rumput mamut menyusut ke arah kutub. Dan fakta bahwa mamut berhasil mencapai Pulau Wrangel merupakan tanda perubahan iklim kuno.

Namun perubahan iklim tidak menyebabkan kepunahan mamut. Juga tidak ada indikasi bahwa mamut terakhir diburu oleh manusia. Dengan melihat DNA mamut yang diambil dari tulang dan gigi, para ahli genetika mencoba mencari tahu mengapa populasi terakhirnya mati.

Para peneliti di balik studi baru ini mengeksplorasi nasib mamut terakhir melalui 21 genom mamut berbulu dari waktu yang berbeda. Genom itu mewakili populasi Pulau Wrangel dan mamut daratan sebelumnya.

Penelitian sebelumnya telah mengisyaratkan bahwa mamut di Pulau Wrangel begitu terisolasi. Hal ini menyebabkan mutasi berbahaya dengan cepat terakumulasi di antara populasinya. Dalam skenario ini, mamut menghasilkan begitu banyak mutasi melalui perkawinan sedarah. Karena itu, mereka tidak dapat lagi menghasilkan keturunan yang cukup sehat agar populasinya dapat bertahan hidup.

Namun, ketika Pecnerova dan tim mengamati gen mamut, mereka menemukan jalur yang lebih rumit menuju kepunahan.

“Sepertinya keseluruhan populasi dimulai oleh paling banyak delapan individu yang berkembang biak, namun meningkat menjadi beberapa ratus dengan cepat,” kata Pecnerova. Genetika mamut mencerminkan hambatan dan ekspansi ini. “Populasi megaherbivora yang bereproduksi lambat dan bertahan selama 6.000 tahun berasal dari jumlah hewan yang lebih sedikit. Bahkan lebih sedikit jika dibandingkan yang dapat Anda hitung dengan kedua tangan,” jelasnya, yang merupakan skenario ekstrem dibandingkan perkiraan para peneliti.

“Garis waktu populasi mamut terakhir di Pulau Wrangel yang diuraikan dalam makalah baru ini adalah kesempatan luar biasa. Tim bisa melihat bagaimana genom berubah dalam populasi kecil dan terisolasi ini,” kata ahli genetika Universitas North Carolina, Rebekah Rogers.

Genom mamut menunjukkan bahwa meskipun terjadi perkawinan sedarah, populasi pulau tersebut segera menjadi stabil. Dan bahkan mulai menghilangkan mutasi berbahaya seiring berjalannya waktu.

“Saya sangat terkejut betapa stabilnya populasi secara genetik,” kata Pecnerova. Mammoth mampu bertahan hidup sekitar 200 generasi sebelum punah. Alih-alih menyusut, hewan-hewan tersebut justru bertahan dan tiba-tiba mengalami kepunahan.

“Kisah yang kami ceritakan pada diri kami sendiri, yang saya tulis dalam tesis PhD saya dan dipresentasikan di konferensi, adalah salah,” kata Pecnerova. Mamut berbulu terakhir tidak mengalami kehancuran genetik. Hewan herbivora memang mengalami dampak perkawinan sedarah, namun hal ini tampaknya tidak membuat mereka berada di ambang kepunahan. (

Kalau bukan perkawinan sedarah, lalu apa?

Data genetik tidak menunjukkan dengan tepat tekanan fatal seperti apa yang mengakhiri hidup mamut di Pulau Wrangel. Tapi menunjukkan bahwa penurunan tersebut terjadi dengan cepat. Manusia baru tiba di Pulau Wrangel 4 abad setelah mamut terakhir mati. Mamut bisa saja punah karena mereka tidak mampu mengikuti perubahan lingkungan atau wabah penyakit. Tapi perubahan tersebut sulit dilacak melalui catatan fosil yang terbatas.

Meskipun populasi mamut terakhir sudah stabil, penulis studi baru ini tidak dapat sepenuhnya mengesampingkan konsekuensi genetik dari perkawinan sedarah. Mutasi masih bisa membuat mamut rentan terhadap tekanan lain. Dan bahkan jika populasinya bertahan lebih lama, mungkin akan terlalu sulit bagi mamut untuk bertahan hidup di tempat yang terisolasi.

“Peristiwa kepunahan jauh lebih rumit daripada hanya satu faktor,” kata Rogers. Rogers juga menambahkan bahwa perubahan iklim, pergeseran sumber makanan, kekeringan, badai, penyakit, atau faktor-faktor lain bisa jadi berkontribusi terhadap hal ini. Mutasi yang merugikan pada mamut tidak membantu mereka, katanya. Namun klaim apa pun bahwa mamut menghilang hanya karena genomnya tidak mencerminkan keseluruhan cerita.

Kepunahan mamut terjadi akibat perubahan iklim dan lingkungan yang terjadi selama ribuan tahun serta perburuan manusia. Dan pada akhirnya, akibat dari hambatan genetik. Herbivora berbulu ini bertahan pada sebagian habitatnya seiring perubahan iklim dan lingkungan bumi. Konsekuensi genetik dari penurunan populasi sebelumnya di daratan berarti bahwa populasi Pulau Wrangel mungkin adalah “mamut mati” yang berjalan. Mereka tidak mampu bertahan cukup lama hingga padang rumput mamut dapat kembali.