Komunikasi kedua belah pihak berlanjut ketika Kapten Sakaguchi mengundangnya ke Fort de Kock (Bukittinggi). Sukarno juga bertemu dengan Kolonel Fujiyama, komandan militer di Bukittinggi.
Jepang di tangan Sukarno
Sejarawan Jepang, Aiko Kurasawa dalam Kemerdekaan Bukan Hadiah Jepang yang mencatut otobiografi Sukarno, menyebutkan Sukarno terkesan dengan perilaku Jepang yang sopan dan ramah. Hal ini membuat Sukarno menyetujui kerja sama dengan Jepang.
Mestika Zed, dikutip dari Historia, justru Sukarno terpaksa menerima tawaran Jepang di bawah tekanan psikologis.
Panglima Besar I AD Jepang ke-16 di Jawa, Jenderal Imamura, dalam memoarnya menulis, kalangan pemuda Indonesia meminta Jepang membebaskan Sukarno yang ditahan Belanda.
Awalnya, Jepang masih mempertimbangkan posisi Sukarno bagi masa kependudukannya. Banyak pembesar militer Jepang di Singapura khawatir jika Sukarno dibebaskan, dampaknya akan menyebarkan pengaruh nasionalisme fanatik bagi banyak orang.
Lain halnya dengan Letkol Keiji Machida yang menganggap Sukarno bisa dimanfaatkan untuk mobilisasi rakyat dan propaganda Perang Asia Pasifik. Jenderal Imamura tidak peduli dengan kekhawatiran rekan-rekannya di Singapura. Dia memilih untuk meminta aparat Jepang di Sumatra untuk memulangkan Sukarno ke Jakarta dengan kapal dari Palembang.
Apa yang dikhawatirkan petinggi militer Jepang di Singapura tidak terbukti. Berdasarkan keterangan sang Panglima Besar, setelah kembali ke Jawa, Sukarno beberapa kali meminta untuk bertemu dengan, bahkan mengajak seniman Basuki Abdullah untuk melukis sosok Jenderal Imamura.
Hal yang pertama dibahas dalam pertemuan adalah di mana posisi Sukarno kala kependudukan Jepang, antara bekerja sama atau netral. Jenderal Imamura menyampaikan, jika mengambil sikap menentang, Jepang akan menggunakan cara-cara kekerasan. Sementara itu, Jepang pun belum punya rencana atau menjanjikan kemerdekaan, karena masih berhasrat menguasai Indonesia.
Dalam perundingan beberapa hari bersama kawan-kawan pergerakan kemerdekaan lainnya, Sukarno memilih untuk bekerja sama dengan Jepang. Kerja sama ini punya keuntungan dalam upaya nasionalisme, seperti yang ditulis dalam otobiografi Sukarno: "dengan biaya pemerintah Jepang akan kita didik rakyat kita menjadi pemerintahan."
Keputusan ini menjadi pertaruhan besar Sukarno akan nasib Indonesia dan upaya kemerdekaannya. Sukarno yakin, Jepang tidak akan lama di Indonesia karena perang besar yang membuat mereka kalah sendiri. Maka, upaya kemerdekaan harus dilakukan secara berhati-hati daripada harus mengonfrontasi secara terbuka.
Baca Juga: Puisi Cinta: Jurus Jitu Petualangan Asmara dalam Sejarah Sukarno