Sejarah Indonesia: Kenapa Sukarno Bekerja Sama dengan Jepang demi Kemerdekaan?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 29 Juli 2024 | 16:04 WIB
Sukarno (kiri) berjabat tangan dengan pimpinan urusan dalam negeri pemerintahan militer Jepang di Indonesia, Mayor Jenderal Moichiri (kanan). Jepang memanfaatkan Sukarno untuk propaganda. Lantas, apa yang membuat Sukarno setuju bekerja sama dengan Jepang? (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Ketika membahas sejarah Indonesia jelang kemerdekaan, kehadiran Jepang seolah dituliskan ambigu antara kawan atau lawan dalam menentang kolonialisme Barat. 

Ketika Jepang tiba ke Indonesia pada 1942, kekuatan mereka menggeser pemerintahan Hindia Belanda. Para tokoh kemerdekaan tampak merapatkan diri dengan Jepang, tak terkecuali Sukarno yang sebelumnya dianggap "pembuat onar" kemerdekaan Indonesia.

Sementara, orang-orang di lingkar pemerintahan penjajahan Belanda justru berupaya melarikan diri ke negara sekutu, seperti Australia, atau ditangkap Jepang.

Selama periode 1942-1945, banyak dokumen sejarah Indonesia yang mencatut kedekatan Sukarno dengan Jepang. Kerja sama ini termasuk dalam mobilisasi tenaga kerja romusha dan propaganda media. Alih-alih menentang Jepang yang membuka lembar penjajahan baru, mengapa Sukarno, sebagai tokoh kemerdekaan, justru bekerja sama dengan mereka?

Pengasingan Sukarno di Sumatra

Pada 1938, Sukarno diasingkan Pemerintah Hindia Belanda ke Bengkulu, setelah sebelumnya di Ende, Flores. Dalam pengasingannya, Sukarno justru bertemu dengan pelbagai tokoh kemerdekaan dan gerakan Muhammadiyah di Bengkulu, namun diawasi aparat militer kolonial.

Kemudian kabar invasi Jepang ke Asia Tenggara terdengar di telinga pejabat kolonialisme Hindia Belanda pada 1942. Diperkirakan, Jepang akan mendarat di Sumatra setelah dari Singapura dan Kalimantan.

Berdasarkan otobiografi Sukarno, petugas Belanda segera menggiringnya dari rumah pengasingannya ke hutan, supaya perpindahan ini tidak diketahui Jepang. Rencananya, Sukarno akan ke Kota Padang, dan dikirim ke Australia bersama petinggi Hindia Belanda. Tindakan ini, menurut ahli sejarah Indonesia, Hindia Belanda khawatir jika nantinya Jepang memanfaatkan Sukarno yang anti-Belanda.

Sampai di Padang, situasinya kacau pada Februari. Banyak orang Belanda sudah lari, sehingga kapal yang seharusnya dipersiapkan untuk Sukarno tidak lagi tersedia. Aparat dan pejabat Belanda menyelamatkan diri masing-masing Belanda melupakan tahanan berharganya itu di Kota Padang.

Menurut Sukarno, ketiadaan kapal dan kabur ke Australia tanpa membawanya adalah kesalahan besar Belanda. Akhirnya, bersama Inggit, Sukarno menumpang di rumah teman-teman lamanya, Ego Hakim dan Waworuntu.

Seminggu kemudian, Jepang tiba di Padang. Intel mengetahui keberadaan Sukarno. Kemudian, beberapa orang mendatangi Sukarno, termasuk perwira Kapten Sakaguchi dari Departemen Propaganda (Sendenbu) Jepang. Kehadiran militer Jepang ternyata disambut oleh rakyat di Sumatra Barat sebagai pembebas dari cengkeraman penjajahan Eropa.

Baca Juga: Trik Sukarno Selipkan Pesan Tersirat Kala Diminta Jepang Muncul di Film Propaganda

Komunikasi kedua belah pihak berlanjut ketika Kapten Sakaguchi mengundangnya ke Fort de Kock (Bukittinggi). Sukarno juga bertemu dengan Kolonel Fujiyama, komandan militer di Bukittinggi.

Jepang di tangan Sukarno

Sejarawan Jepang, Aiko Kurasawa dalam Kemerdekaan Bukan Hadiah Jepang yang mencatut otobiografi Sukarno, menyebutkan Sukarno terkesan dengan perilaku Jepang yang sopan dan ramah. Hal ini membuat Sukarno menyetujui kerja sama dengan Jepang.

Mestika Zed, dikutip dari Historia, justru Sukarno terpaksa menerima tawaran Jepang di bawah tekanan psikologis.

Panglima Besar I AD Jepang ke-16 di Jawa, Jenderal Imamura, dalam memoarnya menulis, kalangan pemuda Indonesia meminta Jepang membebaskan Sukarno yang ditahan Belanda.

Awalnya, Jepang masih mempertimbangkan posisi Sukarno bagi masa kependudukannya. Banyak pembesar militer Jepang di Singapura khawatir jika Sukarno dibebaskan, dampaknya akan menyebarkan pengaruh nasionalisme fanatik bagi banyak orang.

Sukarno (duduk, dua dari kiri) bersama Jenderal Imamura, dan Mohammad Hatta. Terdapat lukisan sosok Jenderal Imamura yang dilukis Basuki Abdullah yang dihadiahkan untuk Sang Panglima Besar. (Aiko Kurasawa)

Lain halnya dengan Letkol Keiji Machida yang menganggap Sukarno bisa dimanfaatkan untuk mobilisasi rakyat dan propaganda Perang Asia Pasifik. Jenderal Imamura tidak peduli dengan kekhawatiran rekan-rekannya di Singapura. Dia memilih untuk meminta aparat Jepang di Sumatra untuk memulangkan Sukarno ke Jakarta dengan kapal dari Palembang.

Apa yang dikhawatirkan petinggi militer Jepang di Singapura tidak terbukti. Berdasarkan keterangan sang Panglima Besar, setelah kembali ke Jawa, Sukarno beberapa kali meminta untuk bertemu dengan, bahkan mengajak seniman Basuki Abdullah untuk melukis sosok Jenderal Imamura.

Hal yang pertama dibahas dalam pertemuan adalah di mana posisi Sukarno kala kependudukan Jepang, antara bekerja sama atau netral. Jenderal Imamura menyampaikan, jika mengambil sikap menentang, Jepang akan menggunakan cara-cara kekerasan. Sementara itu, Jepang pun belum punya rencana atau menjanjikan kemerdekaan, karena masih berhasrat menguasai Indonesia.

Dalam perundingan beberapa hari bersama kawan-kawan pergerakan kemerdekaan lainnya, Sukarno memilih untuk bekerja sama dengan Jepang. Kerja sama ini punya keuntungan dalam upaya nasionalisme, seperti yang ditulis dalam otobiografi Sukarno: "dengan biaya pemerintah Jepang akan kita didik rakyat kita menjadi pemerintahan."

Keputusan ini menjadi pertaruhan besar Sukarno akan nasib Indonesia dan upaya kemerdekaannya. Sukarno yakin, Jepang tidak akan lama di Indonesia karena perang besar yang membuat mereka kalah sendiri. Maka, upaya kemerdekaan harus dilakukan secara berhati-hati daripada harus mengonfrontasi secara terbuka.

Baca Juga: Puisi Cinta: Jurus Jitu Petualangan Asmara dalam Sejarah Sukarno