Menerka Cinta antara Seine dan Ciliwung

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 28 Juli 2024 | 09:40 WIB
Sungai Seine dengan panorama Pont des Arts dan Institut de France pada malam hari di Paris, Prancis. Sungai ini telah melahirkan peradaban di empat kota yang dialirinya. (TravelScape/FREEPIX)

Bukan sebuah kebetulan pula apabila Seine dan Ciliwung juga menautkan sejarah Perang Jawa. Sebelum pelayaran pengasingannya ke Manado, Pangeran Dipanagara diinapkan di lantai kedua Balai Kota Batavia, yang berada di bantaran Ciliwung. Lebih dari satu dekade silam di pasar loak tepian Sungai Seine, seorang peneliti budaya dan sastra Indonesia asal Prancis telah menemukan buku harian Kapten Errembault de Dudzeele et d'Orroir, serdadu Hindia Belanda dalam Perang Jawa. Kini buku harian itu tersimpan di perpustakaan École française d'Extrême-Orient (EFEO), lembaga penelitian Prancis yang khusus ditujukan untuk penelitian kebudayaan di Asia.  

Namun, terdapat sejarah yang berlanjut. Warga yang menghuni Seine dan Ciliwung pun mendapat ancaman banjir dan buruknya pengelolaan limbah. Begitulah, sungai telah melahirkan peradaban, namun perada­ban pula yang mengancam kelestariannya.

Apakah jangan-jangan kita sedang membangun peradaban nircinta? Apabila teknologi merupakan buah dari peradaban, seharusnya peranti yang memudahkan hidup manusia itu juga dironce atas nama cinta.

Muara Ciliwung berlatar Gudang Timur VOC dan sisa tembok kota Batavia. Di muara sungai inilah awal mula jantung kesibukan Metropolitan Jakarta. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Atas nama percepatan pembangunan jelang Olimpiade, pemerintah dan para insinyur serta ahli tata air Prancis bergegas merestorasi sungai ini, termasuk investasi untuk pengolahan limbah pabrik-pabrik yang menggelayuti bantaran Seine. Mereka pun membangun bendungan bahwa tanah untuk mencegah banjir di sepanjang aliran Seine—dan aman untuk berenenang. 

"Peradaban harus dinilai dan dihargai, bukan berdasarkan besarnya kekuatan yang telah dikembangkannya," kata Rabindranath Tagore, pujangga asal India. "Namun, berdasarkan seberapa besar peradaban tersebut telah berevolusi dan mengekspresikan kecintaan terhadap kemanusiaan, melalui hukum dan institusinya."

Rabin mengatakan bahwa peradaban dinilai sejauh mana peradaban itu lebih mengakui marwah manusia dibandingkan mesin. Peradaban kuno jatuh dalam kehancuran dan mati karena peradaban itu menghasilkan hati yang tidak berperasaan sehingga menyebabkan merosotnya nilai manusia.

Runtuhnya peradaban terjadi ketika negara atau sekelompok orang yang berkuasa mulai memandang rakyat hanya sebagai instrumen kekuasaan mereka, demikian ungkap Rabin. Atau, ketika mereka memaksa ras-ras yang lebih lemah untuk menjadi budak dan berusaha menekan dengan segala cara. "Peradaban tidak akan pernah bisa bertahan hidup di bawah kanibalisme dalam bentuk apapun," ungkapnya. "Karena satu-satunya kebenaran yang dimiliki manusia hanya dapat dipupuk oleh cinta dan keadilan."

Sungai-sungai telah melahirkan peradaban besar di penjuru dunia. Derasnya sungai tidak hanya membentuk rupa bumi dan toponimi, tetapi juga sebagai marwah dan jati diri masyarakat yang menghuni di tepiannya. Memuliakan sungai, memuliakan peradaban.