Menerka Cinta antara Seine dan Ciliwung

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 28 Juli 2024 | 09:40 WIB
Sungai Seine dengan panorama Pont des Arts dan Institut de France pada malam hari di Paris, Prancis. Sungai ini telah melahirkan peradaban di empat kota yang dialirinya. (TravelScape/FREEPIX)

Nationalgeographic.co.id—Di balik tembakan kabut asap, kapal-kapal yang mengangkut ribuan atlet dari berbagai negara tampak melambai-lambai. Mereka beriringan melayari Sungai Seine, dari jembatan Pont d'Austerlitz sampai jembatan Pont d'Iéna dalam semarak pembukaan Olimpiade Musim Panas 2024 di Paris, Prancis. 

Seratus tahun silam, Olimpiade juga pernah digelar di kota ini. Demi pembukaan Olimpiade tahun ini pula percepatan pembersihan Sungai Seine mendesak untuk diselesaikan. Ada yang membedakan perhelatan olahraga sejagad tahun ini dengan perhelatan-perhelatan sebelumnya, yakni semangat cinta Bumi dan hemat biaya.

Kota Cinta, demikian salah satu julukan orang-orang untuk Paris. Nama kota itu kebetulan serupa nama tokoh yang diciptakan Shakespeare dalam karya drama romantik nan agungnya, Romeo and Juliet. Count Paris tampil sebagai pelamar Juliet, seorang yang tampan dan kaya, pesaing Romeo.  

Pun, film-film bioskop ikut menahbiskan Paris sebagai kisah kota yang berbumbu asmara. Semisal, kisah tiga orang sahabat yang berjuang mencari pekerjaan di Paris, namun mendapati kerumitan hidup ketika keduanya jatuh cinta pada wanita yang sama dalam An American in Paris rilis pada 1951. Atau film abad ke-21 berjudul Le Fabuleux Destin d'Amélie Poulain—beken dengan judul Amélie—garapan sineas Prancis sekitar dua dekade silam.

Kita juga ikut-ikutan menganggap Paris adalah simbol cinta. Sineas-sineas kita pernah merilis film berjudul Eiffel... I'm in Love dan sekuelnya Lost in Love. Kadang kita bertanya-tanya, apakah kota-kota di Indonesia memang kurang bernarasi romantik? 

Perihal cinta dan peradaban, Martin Luther King Jr. pernah berkata, "Cintalah yang akan menyelamatkan dunia dan peradaban kita."

Tampaknya, pernyataan sang pejuang hak sipil itu ada benarnya. Tanpa cinta, kita hanya membangun kehidupan di atas pertikaian dan perusakan. Lalu untuk apa kita membangun bangsa yang didasarkan pada kekerasan. Pun, apabila kita melihat kembali catatan sejarah peradaban-peradaban besar di dunia yang lahir dari sungai, berarti sungai membawa cinta dalam setiap aliran dan kelokannya.

Kita boleh membandingkan Sungai Seine yang membelah Paris dan Sungai Ciliwung yang membelah Jakarta—perbandingan yang agak terdengar absurd. Lebar keduanya begitu senjang. Jarak lintasan keduanya pun berbeda, panjang Seine kira-kira enam kali panjang Ciliwung.

Namun, apabila kita menekuri kembali sejarah kota-kota di sepanjang alirannya, keduanya memiliki peran serupa dalam membentuk peradaban. 

Seine melahirkan empat kota di Prancis: Kota Paris, yang telah dihuni manusia prasejarah pada 8.000 tahun silam, namun peradaban kotanya bermula dari pulau kecil di tengah sungai itu yang bertoponimi Île de la Cité pada sekitar abad ke-3 SM. Mereka merupakan suku Parisii, orang-orang bangsa Celtic yang menetap di tepi Sungai Seine. Sungai ini melahirkan pula Kota Rouen yang memiliki Katedral Notre-Dame yang lebih dahulu dibangun daripada katedral di Paris. Di sisi tenggara Paris, aliran Seine melahirkan Kota Troyes yang mengekalkan rumah-rumah abad pertengahan. Sementara itu muaranya melahirkan kota pelabuhan tua di utara Prancis, Le Havre.

Ciliwung pun menorehkan peradaban di sepanjang alirannya. Sekitar 5.000-an tahun silam, manusia prasejarah telah menghuni tepiannya di kawasan Condet. Kerajaan Pajajaran menghuni bantaran hulunya pada kisaran abad ke-10 sampai ke-16, yang kini tilasnya menjelma sebagai Kota Bogor. Muara sungai ini melahirkan pelabuhan Sunda Kalapa dan Kota Kerajaan Jayakarta, yang kelak berganti nama menjadi Batavia, cikal bakal Metro­politan Jakarta.

Baca Juga: Sejarah Peradaban Sungai di Asia Tengah Hancur Karena Perubahan Iklim

Bukan sebuah kebetulan pula apabila Seine dan Ciliwung juga menautkan sejarah Perang Jawa. Sebelum pelayaran pengasingannya ke Manado, Pangeran Dipanagara diinapkan di lantai kedua Balai Kota Batavia, yang berada di bantaran Ciliwung. Lebih dari satu dekade silam di pasar loak tepian Sungai Seine, seorang peneliti budaya dan sastra Indonesia asal Prancis telah menemukan buku harian Kapten Errembault de Dudzeele et d'Orroir, serdadu Hindia Belanda dalam Perang Jawa. Kini buku harian itu tersimpan di perpustakaan École française d'Extrême-Orient (EFEO), lembaga penelitian Prancis yang khusus ditujukan untuk penelitian kebudayaan di Asia.  

Namun, terdapat sejarah yang berlanjut. Warga yang menghuni Seine dan Ciliwung pun mendapat ancaman banjir dan buruknya pengelolaan limbah. Begitulah, sungai telah melahirkan peradaban, namun perada­ban pula yang mengancam kelestariannya.

Apakah jangan-jangan kita sedang membangun peradaban nircinta? Apabila teknologi merupakan buah dari peradaban, seharusnya peranti yang memudahkan hidup manusia itu juga dironce atas nama cinta.

Muara Ciliwung berlatar Gudang Timur VOC dan sisa tembok kota Batavia. Di muara sungai inilah awal mula jantung kesibukan Metropolitan Jakarta. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Atas nama percepatan pembangunan jelang Olimpiade, pemerintah dan para insinyur serta ahli tata air Prancis bergegas merestorasi sungai ini, termasuk investasi untuk pengolahan limbah pabrik-pabrik yang menggelayuti bantaran Seine. Mereka pun membangun bendungan bahwa tanah untuk mencegah banjir di sepanjang aliran Seine—dan aman untuk berenenang. 

"Peradaban harus dinilai dan dihargai, bukan berdasarkan besarnya kekuatan yang telah dikembangkannya," kata Rabindranath Tagore, pujangga asal India. "Namun, berdasarkan seberapa besar peradaban tersebut telah berevolusi dan mengekspresikan kecintaan terhadap kemanusiaan, melalui hukum dan institusinya."

Rabin mengatakan bahwa peradaban dinilai sejauh mana peradaban itu lebih mengakui marwah manusia dibandingkan mesin. Peradaban kuno jatuh dalam kehancuran dan mati karena peradaban itu menghasilkan hati yang tidak berperasaan sehingga menyebabkan merosotnya nilai manusia.

Runtuhnya peradaban terjadi ketika negara atau sekelompok orang yang berkuasa mulai memandang rakyat hanya sebagai instrumen kekuasaan mereka, demikian ungkap Rabin. Atau, ketika mereka memaksa ras-ras yang lebih lemah untuk menjadi budak dan berusaha menekan dengan segala cara. "Peradaban tidak akan pernah bisa bertahan hidup di bawah kanibalisme dalam bentuk apapun," ungkapnya. "Karena satu-satunya kebenaran yang dimiliki manusia hanya dapat dipupuk oleh cinta dan keadilan."

Sungai-sungai telah melahirkan peradaban besar di penjuru dunia. Derasnya sungai tidak hanya membentuk rupa bumi dan toponimi, tetapi juga sebagai marwah dan jati diri masyarakat yang menghuni di tepiannya. Memuliakan sungai, memuliakan peradaban.