Nationalgeographic.co.id—Peradaban Lembah Indus merupakan salah satu peradaban terpenting di Zaman Perunggu. Prestasinya setara dengan peradaban Mesir kuno. Peradaban Lembah Indus juga sering diklaim sangat berpengaruh dalam perkembangan masyarakat di kemudian hari di anak benua India.
Namun, alasan runtuhnya peradaban kuno ini merupakan salah satu misteri terbesar di dunia kuno. Penelitian tentang pola musim hujan historis mungkin telah memecahkan teka-teki ini. Sekarang tampaknya perubahan iklim bertanggung jawab atas kemunduran dan kejatuhan Peradaban Lembah Indus, yang juga dikenal sebagai budaya Harappa.
Dr. Nishant Malik, dari Institut Teknologi Rochester di negara bagian New York, mengembangkan model matematika. Ia dan rekan-rekannya mengembangkan kerangka kerja hibrida yang sesuai untuk mengidentifikasi rezim dan transisi dinamis yang berbeda dalam rangkaian waktu paleoklimat.
Tiga metode statistik yang berbeda digunakan untuk memahami iklim di zaman kuno dan khususnya tingkat curah hujan musim hujan. Dr. Malik menerapkan teori sistem dinamis pada data paleoklimat. Misalnya, data tentang curah hujan berdasarkan keberadaan isotop tertentu di stalagmit di sebuah gua.
Ketika pola musim hujan berubah, peradaban kuno runtuh
Model tersebut menemukan bahwa sekitar 5.200 tahun yang lalu, periode hangat yang dikenal sebagai Iklim Optimum Holosen berakhir. “Gletser meluas dan memantulkan lebih banyak sinar matahari kembali ke luar angkasa dan ini mendinginkan planet ini,” tulis Ed Wheelan di laman Ancient Origins. Akibatnya, perbedaan suhu antara daratan dan lautan meningkat dan ini sangat penting dalam pembentukan musim hujan.
Berakhirnya iklim Optimum Holosen berarti bahwa tingkat curah hujan musim hujan meningkat.
Peradaban Lembah Indus bergantung pada musim hujan, seperti halnya budaya-budaya berikutnya di Asia Selatan. Dr. Nishant Malik mengatakan, “Wilayah tempat Peradaban Lembah Indus berkembang adalah daerah semikering, yang dikaruniai beberapa sungai yang dialiri gletser. Misalnya Sungai Indus dan banyak anak sungainya.”
Masyarakat budaya Harappa sering membangun permukiman dan pusat kota di sepanjang Sungai Ghaggar–Hakra. Semua itu bergantung pada musim hujan. Dr. Malik menjelaskan, “Oleh karena itu, Peradaban Lembah Indus sangat bergantung pada curah hujan yang disebabkan oleh musim hujan, sebuah fenomena yang sangat dinamis.”
Pencapaian budaya Harappa
Seiring musim hujan membawa lebih banyak hujan, pertanian meningkat. Hal ini berarti masyarakat budaya Harappa dapat mengembangkan masyarakat yang canggih antara tahun 3500 dan 1300 SM.
Baca Juga: Peradaban Tertua di Dunia, Benarkah Kini Tak Lagi 'Dimiliki' Irak?
Peradaban kuno ini menjangkau hingga Afghanistan dan meliputi sebagian besar Pakistan dan wilayah India barat laut. Beberapa perhitungan menyatakan bahwa tempat ini dihuni oleh sekitar lima juta orang. Dua kota terbesarnya adalah Mohenjo Daro dan Harappa.
“Peradaban ini dikenal dengan infrastruktur dan teknologi perkotaan yang canggih, seperti sistem untuk mengukur panjang dan massa,” kata Dr. Malik.
Peradaban Sungai Indus memiliki sistem sanitasi yang memungkinkan mereka untuk tinggal di kota-kota besar. Tata letak permukiman mereka sangat seragam. Hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat yang sangat hierarkis, yang direncanakan secara terpusat. Namun, banyak hal tentang peradaban yang luar biasa ini masih misterius karena sistem penulisan kunonya belum diuraikan.
Perubahan iklim dan kemunduran Peradaban Lembah Indus
Studi menyatakan bahwa budaya Harappa kuno mulai menurun karena perubahan ukuran gletser akibat gaya orbital. Hal ini memengaruhi seberapa banyak cahaya, dan karenanya panas, mencapai area tertentu. Sekitar 1.300 SM, hal ini menyebabkan suhu menjadi lebih dingin dan memengaruhi musim hujan. Karena curah hujan yang lebih sedikit, orang-orang dari budaya Harappa berjuang untuk bercocok tanam. Hal ini menyebabkan kemunduran peradaban kuno mereka.
Mengutip pernyataan Dr. Malik, “Kami di sini menunjukkan bahwa peradaban ini tidak hanya menjadi dewasa tetapi juga menurun karena transisi dalam hidroklimat wilayah ini.” Masyarakat budaya Harappa tidak dapat bertahan hidup tanpa curah hujan yang melimpah. Dan diyakini bahwa mereka meninggalkan daerah tersebut, meninggalkan kota-kotanya, dan bermigrasi ke tempat lain. Masyarakat tersebut pun membentuk masyarakat pertanian kecil di daerah dataran tinggi.
Membantah teori invasi Arya
Temuan ini juga mirip dengan temuan yang ditetapkan oleh Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI). Berdasarkan studi fosil, mereka menemukan bahwa pola musim hujan telah berubah sekitar tahun 1800 SM. Mereka menemukan bahwa musim hujan musim dingin tampaknya menjadi lebih kuat menjelang tahun-tahun terakhir peradaban Harappa. Dan musim hujan musim panas melemah.
Teori lain yang menjelaskan kemunduran peradaban menunjukkan bahwa peradaban itu hancur oleh gempa bumi atau oleh invasi bangsa Indo-Arya nomaden. Dahulu, banyak yang percaya bahwa bangsa Arya menyerbu Lembah Indus dan menyebabkan runtuhnya peradaban kuno itu.
Namun, hanya ada sedikit bukti fisik pada sisa-sisa yang menunjukkan bahwa budaya itu runtuh karena invasi atau perang. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa perubahan iklim kemungkinan besar bertanggung jawab atas runtuhnya peradaban yang luar biasa namun misterius ini.