Peneliti arkeologi BRIN lainnya, Priyatno Hadi, kemudian bercerita tentang pola penempatan situs-situs megalitik di Gunung Slamet, Jawa Tengah. Dia menjelaskan bahwa di kawasan tersebut ditemukan 70 situs megalitik.
Keberadaan bangunan-bangunan itu merupakan bukti bahwa pada masanya kebudayaan megalitik telah berkembang luas dan dianut oleh masyarakat yang bermukim di kawasan tersebut.
“Kehidupan masyarakat megalitik dilatari oleh kepercayaan terhadap kekuatan supranatural," terang Priyatno. "Mereka menganggap bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang dapat memengaruhi kehidupan manusia di dunia.”
Dia juga mengungkapkan, di sana ada upacara pemujaan yang dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kekuatan supranatural agar tetap terjaga dengan baik. Hal tersebut tampak dari hasil analisis lingkungan pola penempatan situs tersebut yang terbatas pada lereng bawah (low land) dan lereng tengah (middle land).
Tergambar, masyarakat megalitik adalah masyarakat agraris sehingga pemilihan lahan dipilih pada lokasi yang cocok untuk pertanian. Menurutnya, itu sesuai dengan subsistensi masyarakat megalitik yaitu bercocok tanam.
Lingkungan gunung yang menyediakan sumber daya untuk bercocok tanam dijelaskan pada lereng situs bagian bawah atau lereng bagian tengah.
Sementara, peneliti arkeologi BRIN lainnya, Erlin Novita Idje Djamie, menceritakan tata ruang peninggalan megalitik di situs Gunung Srobu. Tata ruang di sepanjang punggung bukit dari barat ke timur ini membentuk ruang-ruang yang menurut fungsinya terkait dengan aktivitas pemujaan dan penguburan.
“Tata letaknya sebagai hasil proses interaksi manusia dengan lingkungannya, di mana mereka memanfaatkan potensi lingkungan yang ada dan memodifikasinya menurut kebutuhan mereka,” jelasnya.
Menurut Erlin, sumber bahan batuannya umumnya berasal dari area situs itu sendiri. Ada juga yang diambil dari beberapa lokasi di kawasan pesisir pantai utara, seperti Pegunungan Cyclop.
"Dari segi bahan, bentuk, dan tata letak tinggalan megalitiknya, dapat diketahui bahwa di situs ini sudah terbentuk stratifikası sosial,” ucap Erlin.
Periset arkeologi BRIN lainnya, Putri Novita Taniardi, menyampaikan hasil studinya di permukiman tradisi megalitik Kampung Romanduru, Flores. Di sini ia fokus pada komunitas adat orang Krowe, atau biasa disebut sebagai Ata Krowe, di kampung tersebut dengan budaya materi sebagai simbol-simbol dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Ia menjelaskan bahwa budaya materi menjadi batas yang memisahkan satu ruang dengan ruang lain, satu tempat dengan tempat lain, serta pengkultusan akan roh leluhur. Simbol-simbol tersebut di antaranya wu'a mahe, wati mahang, dan ai tali.
Simbol-simbol ini mempunyai relasi dalam konteks lanskap budaya Ata Krowe. “Tiap-tiap budaya secara langsung menunjukkan bagaimana lanskap budaya Ata Krowe. Lebih jelasnya, Wu'a mahe merupakan pusat dari perkampungan karena bentuk permukimannya mengelilingi wu'a mahe itu sendiri,” tegasnya.
Putri juga mengulas pengaturan lahan pada komunitas adat Krowe tidak terlepas dari peranan Tono Pu'an sebagai pemegang otoritas di Romanduru. Sementara, Suku Buang Baling sebagai Tana Pu'an hingga sekarang masih memegang legitimasi atas pengaturan lahan di sana.