Mengungkap Peradaban Nusantara Melalui Rekam Jejak Budaya Megalitik Austronesia

By Utomo Priyambodo, Kamis, 1 Agustus 2024 | 16:00 WIB
Tinggalan budaya megalitik Austronesia banyak tersebar di wilayah Nusantara. (Kemendikbud)

Nationalgeographic.co.id—Tinggalan budaya megalitik Austronesia banyak tersebar di wilayah Nusantara. Mulai dari yang ada di Pasemah, Sumatra Selatan; Gunung Slamet, Jawa Tengah; Kampung Romanduru, Flores; hingga Gunung Srobu, Papua.

Keberagaman tinggalan budaya tersebut merupakan rekam jejak perkembangan peradaban Nusantara, kata Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Herry Jogaswara.

Hery menyampaikan uraian pembuka mengenai jejak budaya megalitik Austronesia itu saat memberi sambutan di webinar Forum Kebhinnekaan bertajuk "Rekam Jejak Manusia dan Budaya Austronesia di Nusantara" pada Kamis (25/7/2024).

Dalam forum ini, tim peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (PR APS) BRIN menyajikan hasil risetnya. Kepala PR APS BRIN, Irfan Mahmud, mengungkapkan bahwa banyak perkembangan menarik dalam riset Austronesia dalam dua dasawarsa terakhir.

Itu artinya betapa luas cakupan, masalah ilmiah, dan praksisnya. Maka menurutnya, penting adanya pertukaran data dan informasi dalam menginventarisasi rekam jejak tersebut.

“Kita memang memerlukan suatu kolaborasi karena studi Austronesia adalah studi yang multidisiplin. Bukan hanya arkeologi, tetapi juga ilmu bahasa, geologi, sejarah, antropologi, palinologi, dan lain-lainnya, karena semua disiplin ilmu tersebut bisa berkontribusi dalam riset,” tutur Irfan.

Irfan menyampaikan bahwa situs-situs Austronesia tersebar luas di berbagai kawasan Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke. Bahkan kontekstualitas dari situs tersebut memberi ranah hubungan antarbangsa. Jadi, studi terkait ini tidak hanya multidisiplin, tetapi juga multiregional yang dapat menghubungkan peneliti antarbangsa.

Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Marsis Sutopo, menanggapi bahwa kalau kita bicara tentang budaya Astronesia, ada banyak sekali hal atau aspek yang belum tergali. Menurutnya, tingkat persebaran budaya Austronesia memang luar biasa dan masih banyak membutuhkan kajian serta penggalian lebih mendalam.

Dalam sesi diskusi, peneliti arkeologi BRIN, Triwurjani, mengungkap hasil penelusuran jejak permukiman budaya megalitik di Pasemah Sumatera Selatan. Dia menjelaskan bahwa Pasemah terdiri atas bentang lahan dataran tinggi dan pegunungan bergelombang, serta bentang lahan dataran rendah, sedangkan rawa daratan di bagian bawahnya.

Kesuburan Pasemah sebagai pilihan situs dikuatkan dengan adanya tiga sungai besar yang mengalir di sekitarnya, yaitu sungai Selangis di hulu kaki Gunung Dempo, Sungai Lematang, dan Sungal Endikat. Ketiganya mengalir menyatu ke Sungai Musi di bagian hilir.

Wilayah Paseman terbagi menurut jenis aktivitasnya. Ada aktivitas penguburan pada area atas, penguburan pada area tengah, serta kegiatan sosial pemerintahan dan aktivitas lain pada area bawah.

Baca Juga: Mitologi si Pahit Lidah yang Diyakini Benar Terjadi di Sumatra Selatan

Peneliti arkeologi BRIN lainnya, Priyatno Hadi, kemudian bercerita tentang pola penempatan situs-situs megalitik di Gunung Slamet, Jawa Tengah. Dia menjelaskan bahwa di kawasan tersebut ditemukan 70 situs megalitik.

Salah satu batu di situs megalitik Pasemah yang kerap dikaitkan dengat mitologi si Pahit Lidah dari Sumatra Selatan. (Kemendikbud)

Keberadaan bangunan-bangunan itu merupakan bukti bahwa pada masanya kebudayaan megalitik telah berkembang luas dan dianut oleh masyarakat yang bermukim di kawasan tersebut.

“Kehidupan masyarakat megalitik dilatari oleh kepercayaan terhadap kekuatan supranatural," terang Priyatno. "Mereka menganggap bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang dapat memengaruhi kehidupan manusia di dunia.”

Dia juga mengungkapkan, di sana ada upacara pemujaan yang dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kekuatan supranatural agar tetap terjaga dengan baik. Hal tersebut tampak dari hasil analisis lingkungan pola penempatan situs tersebut yang terbatas pada lereng bawah (low land) dan lereng tengah (middle land).

Tergambar, masyarakat megalitik adalah masyarakat agraris sehingga pemilihan lahan dipilih pada lokasi yang cocok untuk pertanian. Menurutnya, itu sesuai dengan subsistensi masyarakat megalitik yaitu bercocok tanam.

Lingkungan gunung yang menyediakan sumber daya untuk bercocok tanam dijelaskan pada lereng situs bagian bawah atau lereng bagian tengah.

Sementara, peneliti arkeologi BRIN lainnya, Erlin Novita Idje Djamie, menceritakan tata ruang peninggalan megalitik di situs Gunung Srobu. Tata ruang di sepanjang punggung bukit dari barat ke timur ini membentuk ruang-ruang yang menurut fungsinya terkait dengan aktivitas pemujaan dan penguburan.

“Tata letaknya sebagai hasil proses interaksi manusia dengan lingkungannya, di mana mereka memanfaatkan potensi lingkungan yang ada dan memodifikasinya menurut kebutuhan mereka,” jelasnya.

Menurut Erlin, sumber bahan batuannya umumnya berasal dari area situs itu sendiri. Ada juga yang diambil dari beberapa lokasi di kawasan pesisir pantai utara, seperti Pegunungan Cyclop.

"Dari segi bahan, bentuk, dan tata letak tinggalan megalitiknya, dapat diketahui bahwa di situs ini sudah terbentuk stratifikası sosial,” ucap Erlin.

Periset arkeologi BRIN lainnya, Putri Novita Taniardi, menyampaikan hasil studinya di permukiman tradisi megalitik Kampung Romanduru, Flores. Di sini ia fokus pada komunitas adat orang Krowe, atau biasa disebut sebagai Ata Krowe, di kampung tersebut dengan budaya materi sebagai simbol-simbol dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Ia menjelaskan bahwa budaya materi menjadi batas yang memisahkan satu ruang dengan ruang lain, satu tempat dengan tempat lain, serta pengkultusan akan roh leluhur. Simbol-simbol tersebut di antaranya wu'a mahe, wati mahang, dan ai tali.

Simbol-simbol ini mempunyai relasi dalam konteks lanskap budaya Ata Krowe. “Tiap-tiap budaya secara langsung menunjukkan bagaimana lanskap budaya Ata Krowe. Lebih jelasnya, Wu'a mahe merupakan pusat dari perkampungan karena bentuk permukimannya mengelilingi wu'a mahe itu sendiri,” tegasnya.

Putri juga mengulas pengaturan lahan pada komunitas adat Krowe tidak terlepas dari peranan Tono Pu'an sebagai pemegang otoritas di Romanduru. Sementara, Suku Buang Baling sebagai Tana Pu'an hingga sekarang masih memegang legitimasi atas pengaturan lahan di sana.