Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Ottoman (Kesultanan Utsmaniyah) memiliki hubungan dengan Nusantara. Hal itu bermula dari kekhawatiran kerajaan-kerajaan di Nusantara terhadap kedaulatan mereka atas ancaman musuh.
Selain itu, Pan-Islamisme yang digalakkan oleh Sultan Abdul Hamid II, sultan ke-34 Kesultanan Utsmaniyah turut menjadi alasan lainnya.
Jejak pengaruh Kekaisaran Ottoman terlihat dalam struktur militer Pangeran Diponegoro, di mana salah satu brigade bernama "Turkiyo"; mereka konon berasal dari Turki.
Panglima tertinggi saat itu adalah Sentot Ali Basah, yang mengambil gelar dari Ali Pasha, jenderal militer Turki.
“Orang Turki Utsmaniyah beroperasi di Indonesia selama era Belanda dan mendorong penduduk asli untuk memberontak,” papar Anthony Reid dalam bukunya Southeast Asia in the Age of Commerce.
Pada abad ke-19, banyak surat dari penguasa Indonesia meminta bantuan dari Kekaisaran Ottoman untuk menghadapi Belanda. Utsmaniyah juga membuka konsulat di Batavia (Jakarta) pada akhir abad ke-19.
Sultan Thaha Syaifuddin dari Jambi meminta bantuan dari Khilafah; Sultan Thaha mengirim permintaan tertulis kepada Sultan Turki untuk mengakui Jambi sebagai wilayah Turki, dan akhirnya memblokade laut serta menggulingkan Sultan.
Selain itu, Sultan Abdul Hamid II menyatakan bahwa mereka harus memperbaiki hubungan dengan umat Islam di seluruh dunia dan mendekat satu sama lain dengan intensitas kuat karena tidak ada harapan di masa depan kecuali dengan persatuan ini.
Ide ini dikenal sebagai Pan-Islamisme dan juga mencapai Indonesia (Hindia Belanda).
Dalam Majalah Ilmiah Tabuah, Meirison, Zulvia Trinova, dan Yelmi Eri Firdaus dari UIN Imam Bonjol Padang, menerbitkan jurnal yang berjudul The Ottoman Empire Relations With The Nusantara (Spice Island). Mereka mengungkap bahwa hingga 1904, sudah ada 7 hingga 8 konsul yang ditugaskan ke Kekhalifahan Utsmaniyah di Hindia Belanda.
“Beberapa organisasi gerakan Islam di Hindia Belanda mendukung kampanye unifikasi Islam oleh Khilafah Utsmaniyah,” papar Meirison dkk.
Baca Juga: Mengenang Mesranya Hubungan Kekaisaran Ottoman dengan Kerajaan Jawa
Organisasi-organisasi ini adalah Jam'iyat Khoir yang didirikan pada 17 Juli 1905 oleh keturunan Arab.
Kontribusi gerakan Islam ini dipublikasikan di surat kabar dan majalah di Istanbul, termasuk majalah Al-Manar.
Khalifah Abdul Hamid II, yang tinggal di Istanbul, pernah mengirim utusannya ke Indonesia, bernama Ahmed Amin Bey, atas permintaan asosiasi tersebut untuk menyelidiki situasi umat Islam di Indonesia.
Akibatnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda melarang orang Arab mengunjungi wilayah tertentu.
Selanjutnya, organisasi gerakan Islam lainnya yang muncul sebagai tanggapan positif terhadap unifikasi ini adalah Syarikat Islam.
Pengibaran bendera Turki Utsmaniyah pada Kongres Nasional Sarikat Islam di Bandung pada tahun 1916, sebagai simbol solidaritas di antara umat Islam dan penentangan terhadap kolonialisme, menunjukkan hal ini.
Saat itu, salah satu upaya yang dilakukan oleh Khalifah Utsmaniyah adalah menyebarkan seruan jihad atas nama Khalifah kepada seluruh umat Islam, termasuk Nusantara, yang dikenal sebagai Jawa.
Hubungan Formal antara Aceh dan Kekaisaran Utsmaniyah
Setelah Portugis menangkap Malaka pada tahun 1511, Samudra Pasai tumbuh menjadi pelabuhan utama yang dikunjungi oleh pedagang dari berbagai negara.
Orang Keling (India dari Kalinga), orang Rum (dari Roma, artinya Istanbul, Turki), Arab, Persia, Gujarat, Melayu, Jawa, Siam, dll, berinteraksi dengan bangsa Melayu dan Muslim dari berbagai negara, termasuk Turki Utsmaniyah.
Surat kabar Turki yang diterbitkan pada saat pecahnya perang antara Aceh dan Belanda (1875) menceritakan bahwa pada tahun 1516 Sultan Aceh Firman Syah telah menghubungi Siman Pasya, Wazir Sultan Salim I, untuk menjalin persahabatan.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Kapan Sebenarnya Konstantinopel Berubah jadi Istanbul?
Sejak itu, hubungan antara Aceh dan Turki Utsmaniyah terjalin dengan baik. “Selain Turki, Aceh juga menjalin kerja sama dalam bidang perdagangan dan militer dengan Kerajaan Islam di India, negara-negara Arab, dan beberapa kerajaan di Jawa,” ungkap Meirison dkk.
Snouck Hurgronje, penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah Kolonial Belanda mendengar berbagai cerita yang beredar di masyarakat bahwa orang Aceh adalah campuran keturunan Arab, Persia, dan Turki.
Asumsi ini, menurut Denys Lombard, seorang orientalis Prancis, tampaknya tidak terbentuk lama pada waktu itu. Munculnya gagasan semacam itu mungkin dipicu oleh semangat untuk terus melawan penjajah dari Eropa Kristen.
Kesultanan Aceh adalah salah satu kerajaan Islam di Nusantara. Mereka berperan dalam perlawanan terhadap Portugis.
Sultan Ali Mughayat Syah pernah menaklukkan armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge de Brito di laut lepas pada Mei 1521. Putra sulungnya, Salahuddin, yang menggantikannya, juga menyerang Malaka pada tahun 1537, namun tidak berhasil.
Putra bungsu Mughayat Shah bernama 'Alauddin al-Kahhar Ri'ayat Shah menggantikan saudaranya pada tahun 1539 dan memperkuat Kesultanan Aceh.
Sultan Alauddin memiliki pasukan yang terdiri dari orang Turki, Kamboja, dan Malabar. Sultan Alauddin sendiri dua kali menyerang Malaka (1547-1568).
Pada tahun 1562, seorang utusan dari Aceh meminta meriam kepada Sultan Turki untuk melawan Portugis.
Juga diceritakan bahwa beberapa kerajaan Hindu-Buddha di Asia Tenggara bersedia masuk Islam jika Turki Utsmaniyah bersedia memberikan bantuan.
Turki siap membantu dengan senjata dan ahli. Beberapa kapal disediakan untuk berangkat dengan utusan dari Aceh.
Meskipun menunggu beberapa saat, meriam akhirnya tiba di Aceh. Dari beberapa kapal yang dikirim, hanya dua yang langsung menuju Aceh karena yang lainnya terpaksa berbelok untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Yaman.
Baca Juga: Bagaimana Ikaria Tundukkan Ottoman dan Jadi Negara Merdeka Terkecil dalam Sejarah Dunia?
Bantuan dari Turki tiba di Aceh berupa senjata, dan 300 ahli profesional dalam bidang teknik, militer, ekonomi, dan hukum konstitusi. Di antara senjata yang dikirim adalah sebuah meriam besar yang dikenal sebagai Meriam Lada Secupak.
Dikatakan bahwa delegasi yang dikirim oleh Kesultanan Aceh harus menunggu lama untuk diterima di istana Turki Utsmaniyah.
Akibat menunggu terlalu lama, lada yang dibawa dari Aceh untuk diserahkan ke Turki harus dijual sedikit demi sedikit di pasar Turki untuk membiayai hidup mereka di sana.
Ketika istana Turki akhirnya mengizinkan utusan Aceh bertemu dengan Khalifah, mereka mempersembahkan lada secupak disertai dengan permintaan maaf. Justru karena kejadian ini, Turki Utsmaniyah terharu dan bersedia membantu.
Untuk mengenang kejadian ini, meriam yang diberikan oleh Sultan Turki Sulaiman Khan (1523-1566) kemudian dinamakan Meriam Lada Secupak.
Aliansi dengan Kekaisaran Ottoman (Kesultanan Utsmaniyah) sangat bermanfaat bagi Aceh. Turki mendapatkan lada dari Aceh.
Selain itu, mereka bekerja sama dalam sumber daya manusia, amunisi, dan senjata api. Juga, banyak pengrajin dari berbagai negara tinggal di Aceh, termasuk dari Turki, Cina, dan India.
Tidak hanya itu, banyak guru dari Turki yang tinggal di Aceh. Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (berkuasa 1607-1636) di masa mudanya dididik oleh Khuja Manasseh, seorang profesor dan ahli bahasa dari Turki.
Dari Khuja Manasseh, calon raja ini belajar bahasa Arab, Turki, Portugis, Belanda, dan Inggris. Selama masa pemerintahannya, Aceh mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan.
Beberapa nama ulama besar di Nusantara saat itu antara lain Hamzah Fanshuri, Syamsuddin Pasai, Sheikh Nuruddin Ar-Raniry, dan Shaykh Abdurrauf Singkel (Tengku di Kuala).
—Kisah ini merupakan bagian Kabar dari Selat Malaka, laporan jurnalistik National Geographic Indonesia dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2024, Kemendikbudristek.