Sejarah Dunia: Mengungkap Praktik Aborsi pada Abad Pertengahan Eropa

By Tri Wahyu Prasetyo, Sabtu, 3 Agustus 2024 | 14:00 WIB
Ilustrasi dari De materia medica, sebuah manuskrip abad keenam tentang tanaman obat. (Via Scientific American)

Wanita tidak hanya menjadi subjek dari praktik aborsi dan kontrasepsi, tetapi juga sering kali menjadi praktisi medis yang terlibat dalam prosedur ini.

Dalam banyak kasus, wanita, terutama yang berasal dari kalangan elit dan kaya, memiliki akses terhadap pengetahuan medis terbaik di zamannya.

Mereka sering kali menggunakan berbagai metode kontrasepsi dan aborsi untuk mengatur kehamilan mereka.

Menurut Betancourt, "praktik medis ini tidak hanya terbatas pada kontrasepsi herbal dan farmasi serta obat aborsi, tetapi juga berbagai intervensi bedah, yang hari ini kita sebut sebagai aborsi tahap akhir."

Kendati demikian, tidak semua wanita di abad pertengahan memilki kebebasan yang sama. Mereka yang berasal dari masyarakat rendahan, seperti pekerja seks, sering kali dipermalukan dan dihukum karena praktik aborsi mereka.

"Satu-satunya perbedaan antara pekerja seks yang dihina karena aborsi dan orang-orang yang memesan buku-buku tentang kandungan dan pembedahan ini adalah status sosial mereka. [Yang disebut terakhir] merupakan bagian dari kalangan elit istana. Karena itu, mereka memiliki akses yang lebih baik terhadap pengetahuan medis, perawatan, dan privasi," tegas Betancourt.

Larangan praktik aborsi

Meskipun praktik aborsi sangat meluas di tengah masyarakat Eropa Abad Pertengahan, sebenarnya telah terdapat berbagai larangan ketat dari pemerintah dan agama.

Pada awal era Kristen, hukum gereja menyatakan bahwa wanita yang melakukan atau mencoba melakukan aborsi akan diasingkan dari gereja selama 10 tahun. Bahkan sebelumnya diusulkan agar mereka diasingkan seumur hidup.

Bapa Gereja Basil Agung pada abad keempat menyarankan bahwa waktu pengasingan tidak harus ditentukan secara ketat tetapi tergantung pada pertobatan orang tersebut. 

Hukuman ini akan menjerat siapa pun yang melakukan aborsi atau membantu dalam pelaksanaannya. Bahkan, seorang praktisi aborsi dapat dikenai hukuman mati jika "pasien" meninggal dalam prosesnya.

"Banyak dari hukum-hukum ini dikodifikasikan dalam Intisari Yustinianus pada abad keenam, sebuah ringkasan hukum yang diambil dari pendapat-pendapat legislatif kuno," jelas Betancourt.