Pasang Surut Paus dalam Sejarah Kristen Eropa Abad Pertengahan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 10 Agustus 2024 | 16:00 WIB
Paus Urbanus II dalam Konsili Clermont 1095 untuk menyerukan Perang Salib I. Gereja Katolik Roma punya sejarah Kristen Eropa yang sangat panjang, mulai dari penyebaran agama hingga politisasi otoritas agama oleh penguasa. (Bibliothèque nationale de France)

Nationalgeographic.co.id—Sejarah Katolik Eropa di abad pertengahan berkembang dari Kota Roma. Meski Kekaisaran Romawi runtuh pada abad ke-5 M, keuskupan Roma terus berdiri mengukir sejarah perkembangan Kekristenan di Eropa dan seluruh dunia.

Kekuatan utama kepausan di Eropa, diyakini dimulai pada masa Paus Leo yang Agung (Leo I) yang bertakhta 440–461 M. Berkatnya, Paus jadi pusat otoritas spiritualitas dalam Gereja Katolik.

Pada masa berikutnya di bawah Paus Hilarius dan ketika bangsa asing menguasa Roma pada 476 M, banyak kekacauan terjadi di Eropa. Terutama setelah Kekaisaran Romawi jatuh. Tidak ada pemerintahan terpusat yang mengatur rakyat yang tersebar luas.

Persebaran Kristen dari Roma ke penjuru Eropa

Penyebaran ajaran Kekristenan pun berlangsung semasa Paus Gregorius Agung I (590–604 M). Sejak 598 M, Paus mengirim banyak misionaris ke penjuru Eropa. Inggris adalah kawasan yang dipilih karena menjadi tempat paling jauh di Eropa Barat sebagai bekas kekuasaan Kekaisaran Romawi.

Otoritas Paus diterima di Inggris pada 664, berkat aliansi yang berkembang antara Roma dan para penguasa lokal dari kerajaan-kerajaan Frank di Prancis. Persebarannya dilanjutkan hingga Irlandia dalam sejarah abad pertengahan. Inggris Anglo-Saxon, kemudian, menjadi wilayah pemeluk Kekristenan ajaran Gereja Roma yang paling maju di Eropa utara.

Kristenisasi berlanjut pada abad ketujuh Masehi ke Frisia dan Jerman lewat misionaris Wilibrordus. Dengan cepat, Wilibrordus membangun tempat pijakan baru Kekristenan yang didukung Paus. Dia pun dinobatkan sebagai uskup Frisia oleh Paus Sergius I.

Pada 743 M, Bonifasius, misionaris dari Inggris telah mendirikan delapan keuskupan di Jerman yang berpusat di Mainz.

Upaya ini cukup berat. Banyak dari misionaris menjadi martir ketika menyebarkan ajaran Kekristenan. Bonifasius, misalnya, terbunuh pada 754 M oleh masyarakat sekitar Dokkum, Frisia, yang masih menganut paganisme.

Karena risiko yang berat, persebaran agama harus melibatkan penguasa yang ada di Eropa. Pernah ketika kepausan di Roma menghadapi ancaman serangan bangsa Jermanik Lombardia yang berada di sekitar Pegunungan Alpen.

Supaya dapat bertahan, Paus Stefanus memohon bantuan Raja Franka, Pepin III, pada 753. Kedekatan kepausan dan Kerajaan Franka berlanjut pada masa Charlemagne yang kelak mengubah kerajaan menjadi Kekaisaran Romawi Suci.

Baca Juga: Apa Makna Moto dan Logo Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia 2024?

Perseteruan Kaisar dan Paus

Bisa dibilang, masyarakat Eropa pada masa Kekaisaran Romawi Suci terbagi antara pendukung Paus dan pendukung kekaisaran. Para penerus takhta Charlemagne sering ikut campur dalam urusan gereja. Oleh karena itu, pelbagai upaya melepas pengaruh kekaisaran dilakukan seperti oleh Nicholas II (bertakhta 1059–1061) dan Gregorius VII (bertakhta 1073–1085).

Keruhnya hubungan antara Gereja dan Kekaisaran menimbulkan gesekkan dalam sejarah abad pertengahan. Gregorius VII yang menghendaki kepatuhan para uskup dan biarawan kepada Paus daripada Kaisar, membuat Kaisar Henry IV berang.

Gregorius VII menjabat sebagai Paus dari 1073 hingga 1085. Dia menjadi salah satu pencetus reformasi untuk melepaskan kuasa kerajaan-kerajaan sekuler yang kerap mencampuri urusan gereja. (Austrian National Library)

Kekaisaran Romawi Suci sendiri mengalami perang saudara. Di tengah situasi sulit dengan pangeran-pangeran yang membencinya, Henry IV memilih agresif terhadap Gereja dengan mengurung Paus Gregorius VII di Roma, dan menobatkan Paus Klemens III.

Keributan antara pihak gereja dan otoritas Kekaisaran Romawi Suci baru dilakukan ketika Henry V berkuasa sebagai kaisar. Bersama Paus Kalistus, Kaisar menyepakati perjanjian Konkordat Worms pada September 1122. Perjanjian ini memberikan wewenang yang lebih luas pada Gereja.

Menyatukan kekuatan Kristen Eropa

Sejak kejatuhan Kekaisaran Romawi, Eropa terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Penguasa-penguasa kecil yang bermunculan ini saling berseteru. Dampaknya juga terhadap ketahanan Gereja Katolik yang pengikutnya tersebar di penjuru Eropa.

Keuskupan Roma sebenarnya punya kawasan pemerintahan sendiri yang disebut sebagai Negara Gereja. Negara ini berdiri sejak 754 M dengan Roma sebagai ibukotanya, sekaligus menjadi pendahulu negara Vatikan hari ini. Negara Gereja tidak punya basis militer yang kuat.

Meski kecil, pendukung Gereja Katolik Roma tersebar di seluruh Eropa. Hal inilah yang membuat Paus Urbanus II yang dulunya adalah anak didik Paus Gregorius VII, menyatukan kekuatan Eropa lewat Perang Salib pertama pada November 1095.

Di Timur Tengah, peradaban Islam berkembang dengan pesat. Pada abad ke-11, Kekaisaran Seljuk Turki berhasil menguasai Palestina dari tangan Dinasti Fatimiyah. Kekaisaran ini melarang peziarah Kristen dari Eropa masuk Yerusalem.

Untuk pertama kalinya, kepausan dalam abad pertengahan punya kuasa yang melampaui batas-batas negara. Setiap kerajaan memberikan bantuan militer untuk ekspedisi Yerusalem. Kemampuan ini merupakan keberhasilan reformasi yang dilakukan Paus Gregorius VII, sebelumnya.

Semakin luasnya kewenangan Gereja berdampak pada kepausan yang yang sangat kaya. Mereka kerap melakukan pelayanan dari faksi-faksi yang bertikai di Eropa dengan biaya yang sangat mahal. Dampak buruknya, perilaku korupsi terjadi di lingkungan gereja yang kelak memicu gerakan reformasi yang dipimpin Martin Luther pada abad ke-14.