Mata Rantai Evolusi Homo floresiensis, Spesies Manusia yang Menyusut

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 9 Agustus 2024 | 08:00 WIB
Figur Homo floresiensis, yang populer dijuluki Mama Flo, tampil dalam pameran bertajuk Commemoration of the 20th Anniversary of Homo floresiensis Discovery. Asal-usul spesies manusia katai ini masih diperdebatkan. Namun, hasil terbaru menawarkan temuan yang menakjubkan. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Ratusan ribu tahun yang lalu ketika kerabat kerdil kita bernama latin Homo floresiensis masih ada, alam Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur punya bentang yang berbeda. Para ahli paleoklimatologi meyakini, Flores pernah ditutupi hutan yang dihuni predator raksasa seperti bangau karnivora dan komodo purba.

Meski tinggi tubuh H. floresiensis hanya sekitar 100 sentimeter, atau sekitar pinggang manusia modern, mereka bisa bertahan hidup dari alam ganas sekitarnya. Mereka yang berevolusi sekitar 700.000 tahun lalu ini terekam di berbagai situs, seperti di Liang Bua dan Cekungan Soa.

Beberapa arkeolog berpendapat, H. floresiensis sebenarnya adalah Homo erectus yang mengalami penyusutan dalam sejarah evolusi. Sementara pendapat lain memperkirakan manusia katai purba ini berasal dari evolusi Homo habilis atau Australopithecus.

Kalangan yang berpendapat bahwa H. floresiensis merupakan evolusi dari H. erectus disebabkan kerangka keduanya memiliki fitur yang mirip. Bahkan, ketika disingkap satu dekade silam, kerangkanya menjadi perdebatan, mulai dari dugaan spesies primata non-manusia, H. erectus yang kekurangan gizi, dan masih banyak lagi.

H. erectus diketahui sebagai spesies manusia pertama yang menghuni kepulauan Indonesia dalam sejarah kepurbakalaan. Pelbagai kerangka H. erectus yang pernah ditemukan di Indonesia usianya berkisar dari 600.000 sampai 1,5 juta tahun yang lalu. 

Namun, sebuah studi terbaru justru membuka dugaan baru tentang garis evolusi H. floresiensis. Manusia katai dari Flores ini diduga memiliki ukuran yang lebih kecil pada awal penyusutannya.

Hal ini diungkap studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Communication bertajuk "Early evolution of small body size in Homo floresiensis" yang diterbitkan pada 6 Agustus 2024. Yousuke Kaifu dari The University Museum, The University of Tokyo menjadi penulis pertama studi.

Di Cekungan Soa, para arkeolog sejak 2010 telah menyingkap situs lain yang disebut Mata Menge. Situs ini menghadirkan tulang rahang dan enam gigi milik H. floresiensis yang lebih tua dari yang ada di Liang Bua. Menariknya, temuan gigi ini ternyata lebih kecil dari yang pernah ditemukan sebelumnya.

Kemudian para arkeolog menemukan bagian lain dari spesies ini di situs yang sama pada 2014. Tulang yang tersingkap adalah beberapa potongan tulang lengan atas, atau humerus.

"[Tulang] itu sangat kecil," kata Kaifu, dikutip dari Science. "Jadi, pada awalnya, saya kira itu adalah tulang seorang anak."

Setelah ditelisik lebih lanjut dengan memotong bagian tertentu supaya dapat dianalisis mikroskopis, para peneliti justru menemukan umur pemilik tulang itu berusia dewasa. 

Baca Juga: Ebu Gogo dan Homo Floresiensis Mungkin Tidak Ada Hubungannya

Melansir Harian Kompas, Iwan Kurniawan, ahli paleontologi Pusat Survei Geologi (PSG) dan Museum Geologi Bandung yang menjadi penulis kedua makalah menuturkan, fosil manusia purba yang ada di Meta Menge berjumlah 10 fragmen. Fosil yang tersingkap pada 2010 ini milik setidaknya empat individu yang dua di antaranya adalah anak-anak.

Diperkirakan, tinggi H. floresiensis yang telah menjadi kerangka berusia 700.000 tahun yang lalu ini memiliki tinggi sekitar 103-108 sentimeter. Tinggi ini menandakan individu dewasa tersebut lebih pendek dari sebelumnya yang pernah ditemukan di Liang Bua, sekitar 120 sentimeter.

Perdebatan asal-usul manusia katai dari Flores

Berdasarkan penelitian genetika, Kaifu dan tim berpendapat bahwa Homo floresiensis "punya kesamaan morfologis yang lebih dekat dengan H. erectus Jawa [periode] awal". Mereka memperkirakan garis keturunan antara dua spesies ini dalam jangka waktu panjang pada sekitar 700.000 tahun yang lalu, seperti yang diduga banyak kalangan ilmuwan sebelumnya.

Homo erectus diyakini tiba di Kepulauan Indonesia kurang dari 2 juta tahun yang lalu. Sejarah penelitian arkeologis pertama kali menyingkap kerangka manusia purba ini di Trinil, Jawa Timur oleh Eugene Dubois pada 1890-an. Sampai sekarang, telah ditemukan banyak penemuan fosil mereka di berbagai situs di Indonesia.

Fragmen tulang dan gigi Homo floresiensis yang ditemukan di Cekungan Soa pada 2010 dan 2014. Dari hasil analisis, pemiliknya adalah individu dewasa tetapi dengan ukuran yang lebih pendek dari Homo floresiensis yang pernah ditemukan sebelumnya di NTT. (Yousuke Kaifu et al. (2024))

Spesies ini umum ditemukan di daratan Asia. Keberadaan fosil H. erectus di Indonesia menandakan migrasi mereka melewati Paparan Sunda yang muncul ketika permukaan laut jauh lebih rendah daripada hari ini. 

Yahdi Zaim, profesor paleontologi di Institut Teknologi Bandung yang tidak terlibat dalam penelitian berpendapat, kawasan Indonesia yang tropis sejak lama menjadi daya tarik bagi berbagai spesies manusia, seperti H. erectus dan Homo sapiens.

Dia lebih sepakat jika H. floresiensis berasal dari H. erectus, jika merujuk pada persebaran spesies manusia yang ada pada masanya. Temuan terbaru juga tidak menemukan jejak genetik spesies Afrika seperti Australopithecus dan Homo habilis.

Pada Oktober 2023 silam, Yahdi mengatakan bahwa H. floresiensis memiliki kekerabatan identik dengan spesies manusia purba di Filipina, Homo luzonensis. Keduanya pun memiliki tubuh kerdil. "Keberadaan Homo floresiensis dan Homo luzonensis menimbulkan permasalahan dalam evolusi, terutama mengenai asal usul dan jalur evolusinya: dari mana asalnya?"

Penyusutan dari H. erectus ini terjadi karena mereka bermigrasi ke timur kepulauan Indonesia. Berangsur-angsur, perbedaan sumber daya membuat mereka mengalami penyusutan, terutama jika berada di Flores yang merupakan pulau yang dipisahkan laut.

Masih banyak pakar yang berhati-hati atas kesimpulan asal-usul H. floresiensis. Paleoantropolog Matthew Tocheri dari Lakehead University, dilansir dari Science, memperkirakan perdebatan tentang asal-usulnya masih akan terus berlanjut.

"Kita perlu mempertimbangkan semua bukit yang tersedia dan tidak hanya memilih-milih," ujarnya. Dari kajian lain yang dikutip Tocheri, masih ada dugaan bahwa pohon evolusi hominin pada H. floresiensis berasal dari nenek moyang yang lebih awal daripada H. erectus.