Forum Bumi: Apa yang Terjadi Jika Keanekaragaman Hayati Punah?

By Ade S, Kamis, 8 Agustus 2024 | 17:33 WIB
Mahandis Yoanata, Managing Editor National Geographic Indonesia dan Samedi, Direktur Program KEHATI dalam seminat Forum Bumi yang berlangsung di House of Izara, Jakarta Selatan, pada Kamis (8/8/2024). (Donny Fernando)

Nationalgeographic.co.id—Bekerja sama dengan KEHATI, National Geographic Indonesia menggelar serial seminar Forum Bumi. Gelaran ini bertujuan untuk menciptakan sebuah wadah yang meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para jurnalis serta komunitas aktivis lingkungan.

Pada edisi pertamanya, Forum Bumi melangsungkan seminar yang bertajuk "Apa yang Terjadi Bila Keanekaragaman Hayati Kita Punah?" Seminar ini berlangsung di House of Izara, Jakarta Selatan, pada Kamis (8/8/2024).

Acara yang dipandu oleh Mahandis Yoanata, Managing Editor National Geographic Indonesia, menampilkan tiga narasumber. Mereka adalah Samedi, Direktur Program KEHATI; Annas Radin Syarif, Deputi Sekjen AMAN untuk Ekonomi dan Dukungan Komunitas; serta Prof. Dr. Augy Syahailatua, Peneliti Ahli Utama di bidang Oseanografi Biologi dari Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional.

Samedi, dalam pemaparannya, menyoroti perubahan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Menurutnya, perubahan yang belum diresmikan tersebut masih memiliki beberapa kekurangan.

Beberapa di antaranya adalah tidak mengatur konservasi di level genetik, perlindungan di level spesies tidak mengalami perubahan dari peraturan sebelumnya, serta masih terasa sebagai peraturan yang bersifat sentralistik.

Meski demikian, Samedi menilai ada beberapa hal positif yang terlihat dari perubahan peraturan tersebut. Salah satunya adanya sanksi atau hukuman yang diperkuat. "Sayangnya, saya melihat yang diperkuat hanya sanksi dan hukuman, itu pun hanya untuk spesies yang dilindungi," ujar pria yang kerap disapa Pak Sam tersebut.

Padahal, menurut Samedi, satwa-satwa yang tidak dilindungi pun rentan mengalami kepunahan. Maka dari itu, dengan tidak adanya sanksi terkait perlindungan mereka, maka bukan tidak mungkin mereka juga akan punah.

Sementara itu, Augy memaparkan tentang bagaimana pemahaman kita tentang laut, yang justru menjadi area terluas dari Indonesia, sudah dijelaskan secara salah sejak kita masih bersekolah.

Augy mengambil contoh bagaimana kita hanya diajarkan bahwa laut kita luas. Padahal, faktanya laut di Indonesia tidak hanya luas, tapi juga dalam. "Sebagai orang Indonesia, seharusnya kita tahu bahwa 70-80 persen lautan kita adalah zona laut dalam, yaitu dengan kedalaman di atas 200 meter," ungkap Augy.

Hal ini penting untuk diketahui karena kondisi tersebut memberi beragam manfaat bagi Indonesia. Salah satunya, tentu saja, adalah berupa keanekaragaman hayati.

Augy juga memaparkan tentang ancaman perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia, khususnya di wilayah laut. Termasuk sebuah hasil penelitian yang memprediksi bahwa pada tahun 2100, jumlah terumbu karang di Indonesia akan berkurang sebanyak 22,15 persen.

Dalam kesempatan yang sama, Annas menyoroti tentang keterlibatan masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati. Selama ini mereka menjadi garda terdepan dalam konservasi megadiversitas Indonesia.