Perekrutan 'Berdarah' Jannisary, Pasukan Elite Kekaisaran Ottoman

By Sysilia Tanhati, Senin, 19 Agustus 2024 | 12:00 WIB
Kekaisaran Ottoman melatih para pemuda untuk menjadi pasukan elite Jannisary. Bagaimana perekrutannya? (Antoine-Laurent Castellan)

Nationalgeographic.co.id—Ada banya banyak prajurit tangguh dalam sejarah dunia. Mulai Amazon yang legendaris hingga Navy SEAL masa kini. Sebagian besar negara dan kekaisaran berusaha mempertahankan wilayah mereka dengan melatih sekelompok prajurit elite. Termasuk Kekaisaran Ottoman, kekaisaran yang tangguh dan jaya di masa lalu.

Kekaisaran Ottoman melatih para pemuda untuk menjadi Jannisary (Yanisari), pasukan khusus versi Ottoman, selama berabad-abad keberadaannya.

“Pembentukan Jannisary dimulai pada abad ke-14,” tulis Giles Veinstein dalam buku Fighting for a Living: A Comparative Study of Military Labor 1500-2000. Pasukan elite ini mulai digunakan pada masa pemerintahan Sultan Murad I.

Kelompok ini melayani Kekaisaran Ottoman sebagai polisi, penjaga istana, atau pemadam kebakaran selama masa damai. “Namun kontribusi terbesar mereka adalah selama masa perang,” tulis Emilia David di laman Grunge.

Kerajaan dan kekaisaran di sekitarnya takut pada Jannisary. Bagaimanapun, Jannisary-lah yang membobol tembok Konstantinopel selama Perang Salib. Mereka begitu menakutkan sehingga pada tahun 1526, pasukan tersebut mengalahkan para ksatria Hungaria dalam Pertempuran Mohacs.

Sultan Kekaisaran Ottoman selalu berkuda bersama para Jannisary dalam pertempuran. Maka tidak heran jika kelompok tersebut menjadi sangat dekat dengan kekuatan militer penguasa di masa itu.

Para Jannisary membedakan diri mereka dengan seragam dan kemampuan menembak mereka yang luar biasa. Mereka mengenakan pakaian tipis dengan penutup kepala untuk membedakan diri dari tentara biasa. Mereka membawa busur, pedang tipis yang disebut yatagan Turki, dan kemudian, senapan.

Para Jannisary bergerak lebih cepat dan lebih efisien daripada seorang ksatria berbaju zirah lengkap dengan tanda kebesaran rantai.

Para Jannisary juga memiliki gaji. Namun, menjadi seorang Jannisary bukanlah hal yang mudah.

Perekrutan “berdarah” Jannisary Kekaisaran Ottoman

Tidak seorang pun benar-benar tertarik untuk menjadi seorang Jannisary. Kekaisaran Ottoman merancang cara untuk meningkatkan pangkatnya melalui cara yang agak berbahaya: perbudakan.

Baca Juga: Pelajar Jawi dan 'Propaganda' Kekaisaran Ottoman di Hindia Belanda

Para Jannisary pertama adalah budak dan tawanan perang, tetapi kemudian, perekrutannya menjadi berdarah-darah. Para pejabat di Kekaisaran Ottoan mengambil anak laki-laki dari keluarga Kristen dalam sistem pajak darah yang disebut pengumpulan (devsirme).

Pejabat Kekaisaran Ottoman berkeliling wilayah sekitar mereka setiap 5 tahun atau lebih. Hasilnya, mereka membawa satu anak laki-laki, biasanya berusia antara 6 hingga 10 tahun, dari setiap 40 rumah. Karena hanya sedikit anak laki-laki yang diambil, mereka cenderung tidak memiliki teman di kampung halaman mereka.

Para Jannisary membedakan diri mereka dengan seragam dan kemampuan menembak mereka yang luar biasa. (Public Domain)

Anak laki-laki tersebut ditempatkan di rumah-rumah keluarga Ottoman dan diminta untuk menganut agama Islam. Mereka bekerja pertama kali sebagai buruh tani sampai mereka dianggap cukup kuat. Anak laki-laki tersebut kemudian pergi ke ibu kota untuk diuji dan diberi peran yang berbeda dalam militer. Mereka kemudian dilatih selama 6 tahun dalam gaya bertarung Jannisary.

Meskipun kejam untuk memisahkan seorang anak laki-laki dari keluarga mereka, hal itu membawa keuntungan setelah mereka menjadi Jannisary. Mereka tidak hanya mendapatkan gaji, tetapi Jannisary dianggap sebagai orang bebas dan diperlakukan sebagai putra sultan.

Banyak Jannisary yang naik ke posisi kekuasaan dalam pemerintahan. Meskipun, seperti yang ditulis Veinstein, orang tua anak-anak tersebut memang mencoba melindungi putra mereka dari devsirme. Tapi harus diakui bahwa keluarga menuai banyak keuntungan seperti status sosial yang lebih baik dan lebih banyak uang.

Prajurit elite Kekaisaran Ottoman yang menolak perubahan

Terlepas dari fasilitasnya, Jannisary rentan terhadap pemberontakan. Jannisary setia kepada sultan kecuali jika pemimpin menginginkan reformasi.

Hirarki militer Jannisary didasarkan pada makanan dan dapur. Unit-unit disebut perapian, komandan menjadi pembuat sup, dan dia membawa sendok sayur. Dan pangkat lainnya adalah koki dan pembuat roti.

Para sultan tahu jika Jannisary merencanakan kudeta. Para pria akan menjungkirbalikkan kuali mereka dan memukulnya dengan sendok sayur. Kedengarannya lucu. Namun bagi Jannisary, menerima makanan sultan adalah tanda kesetiaan, jadi menolaknya berarti pemberontakan.

Para sultan menjadi takut akan pemberontakan. Dan Jannisary menjadi sangat berpengaruh sehingga mereka dapat memengaruhi keputusan kebijakan. Sultan Selim III mencoba memodernisasi unit tersebut pada tahun 1806. Tentu saja para Jannisary memberontak dan membunuh pemimpin Kekaisaran Ottoman

Namun, para Jannisary mulai menjadi bahan tertawaan di Eropa. Pada abad ke-18, jumlah Jannisary sekitar 80.000 orang. Devsirme tidak lagi mengatur perekrutan; orang Turki lainnya kini dapat bergabung, yang berarti kriterianya dilonggarkan. Pelatihan pun mandek. Namun, negara-negara Eropa lainnya memodernisasi militer mereka dan lebih kuat daripada tentara Kekaisaran Ottoman.

Pengganti Selim III, Sultan Mahmud II, ingin menyingkirkan para Jannisary yang merepotkan itu. Pada tahun 1826, ia menyerukan pembubaran unit tersebut. Kuali-kuali dibalikkan, tetapi sultan sudah siap.

Sultan Mahmud I memerintahkan meriam untuk menembaki barak-barak Jannisary. Pasukan yang pernah menjadi kelompok elite itu kemudian dikejar-kejar di jalan-jalan dan dipenjarakan. Dengan demikian, berakhirlah salah satu pasukan terhebat dalam sejarah Kekaisaran Ottoman.