Para Jannisary pertama adalah budak dan tawanan perang, tetapi kemudian, perekrutannya menjadi berdarah-darah. Para pejabat di Kekaisaran Ottoan mengambil anak laki-laki dari keluarga Kristen dalam sistem pajak darah yang disebut pengumpulan (devsirme).
Pejabat Kekaisaran Ottoman berkeliling wilayah sekitar mereka setiap 5 tahun atau lebih. Hasilnya, mereka membawa satu anak laki-laki, biasanya berusia antara 6 hingga 10 tahun, dari setiap 40 rumah. Karena hanya sedikit anak laki-laki yang diambil, mereka cenderung tidak memiliki teman di kampung halaman mereka.
Anak laki-laki tersebut ditempatkan di rumah-rumah keluarga Ottoman dan diminta untuk menganut agama Islam. Mereka bekerja pertama kali sebagai buruh tani sampai mereka dianggap cukup kuat. Anak laki-laki tersebut kemudian pergi ke ibu kota untuk diuji dan diberi peran yang berbeda dalam militer. Mereka kemudian dilatih selama 6 tahun dalam gaya bertarung Jannisary.
Meskipun kejam untuk memisahkan seorang anak laki-laki dari keluarga mereka, hal itu membawa keuntungan setelah mereka menjadi Jannisary. Mereka tidak hanya mendapatkan gaji, tetapi Jannisary dianggap sebagai orang bebas dan diperlakukan sebagai putra sultan.
Banyak Jannisary yang naik ke posisi kekuasaan dalam pemerintahan. Meskipun, seperti yang ditulis Veinstein, orang tua anak-anak tersebut memang mencoba melindungi putra mereka dari devsirme. Tapi harus diakui bahwa keluarga menuai banyak keuntungan seperti status sosial yang lebih baik dan lebih banyak uang.
Prajurit elite Kekaisaran Ottoman yang menolak perubahan
Terlepas dari fasilitasnya, Jannisary rentan terhadap pemberontakan. Jannisary setia kepada sultan kecuali jika pemimpin menginginkan reformasi.
Hirarki militer Jannisary didasarkan pada makanan dan dapur. Unit-unit disebut perapian, komandan menjadi pembuat sup, dan dia membawa sendok sayur. Dan pangkat lainnya adalah koki dan pembuat roti.
Para sultan tahu jika Jannisary merencanakan kudeta. Para pria akan menjungkirbalikkan kuali mereka dan memukulnya dengan sendok sayur. Kedengarannya lucu. Namun bagi Jannisary, menerima makanan sultan adalah tanda kesetiaan, jadi menolaknya berarti pemberontakan.
Para sultan menjadi takut akan pemberontakan. Dan Jannisary menjadi sangat berpengaruh sehingga mereka dapat memengaruhi keputusan kebijakan. Sultan Selim III mencoba memodernisasi unit tersebut pada tahun 1806. Tentu saja para Jannisary memberontak dan membunuh pemimpin Kekaisaran Ottoman
Namun, para Jannisary mulai menjadi bahan tertawaan di Eropa. Pada abad ke-18, jumlah Jannisary sekitar 80.000 orang. Devsirme tidak lagi mengatur perekrutan; orang Turki lainnya kini dapat bergabung, yang berarti kriterianya dilonggarkan. Pelatihan pun mandek. Namun, negara-negara Eropa lainnya memodernisasi militer mereka dan lebih kuat daripada tentara Kekaisaran Ottoman.
Pengganti Selim III, Sultan Mahmud II, ingin menyingkirkan para Jannisary yang merepotkan itu. Pada tahun 1826, ia menyerukan pembubaran unit tersebut. Kuali-kuali dibalikkan, tetapi sultan sudah siap.
Sultan Mahmud I memerintahkan meriam untuk menembaki barak-barak Jannisary. Pasukan yang pernah menjadi kelompok elite itu kemudian dikejar-kejar di jalan-jalan dan dipenjarakan. Dengan demikian, berakhirlah salah satu pasukan terhebat dalam sejarah Kekaisaran Ottoman.