'Pesan Tersembunyi' dari Perjalanan Kera Sakti Mencari Kitab Suci ke Barat

By Muflika Nur Fuaddah, Kamis, 29 Agustus 2024 | 18:00 WIB
Tahukah Anda pemikiran apa yang sebenarnya diungkap dari perjalanan mencari kitab suci dan hubungan antara Kera Sakti dan Biksu Tong? (Shandong Film and Television Production Center)

Namun, "Kekosongan" adalah keadaan berpikir yang tidak dapat diwakili menggunakan bahasa. Untuk mengatasi kesulitan dalam menjelaskan keadaan pikiran ini, misalnya, para Biksu Chan mencoba menggunakan gerakan paradoks yang tidak dapat dipahami oleh pikiran rasional. Seringkali, upaya semacam itu membingungkan dan justru gagal menyampaikan arti "Kosong."

Hubungan antara Daoisme dan Buddhisme yang Terungkap

Dari analisis protagonis utama dalam novel ini, Wukong, pada dasarnya adalah murid Daoisme. Namun, keseluruhan novel ini berkisah tentang perjalanan ziarah Buddhis.

Tidak bisa disangkal bahwa terdapat aspek Buddhis dalam novel ini. Identitas Buddhis diwujudkan oleh Tripitaka, ia memiliki tubuh yang telah melalui sembilan kehidupan sebelumnya.

Tripitaka sepenuhnya terbebas dari keinginan sebagai seorang Biksu yang menolak godaan seksual oleh para siluman sepanjang perjalanan. Fakta bahwa syarat untuk memasuki “kekosongan” adalah melepaskan keinginan seperti yang diajarkan oleh Daoisme dan Buddhisme, maka jelas bahwa Tripitaka mewakili pikiran asli, dasar untuk pencerahan.

Namun, perilaku Tripitaka selama perjalanan menunjukkan bahwa melepaskan keinginan saja tidak cukup, karena dia terus-menerus terpengaruh oleh Cu Pat Kai dan gangguan sensorik lainnya. Penggambaran ini sejalan dengan kritik aliran selatan terhadap penekanan pada keheningan dalam Buddhisme.

Dalam Bab 2 dari Journey to the West, sikap ini dinyatakan dengan jelas, “Apa hasil sejati yang bisa diperoleh dari keheningan?" tanya Kera Sakti. "Pantang makan gandum, menjaga esensi, dan hening... Apakah ini cara untuk menjadi abadi?" tanya Kera Sakti. "Ini seperti membangun bagian atas tungku dengan batu bata yang dikeringkan di bawah sinar matahari," jawab biksu.

Di sisi lain, penulis  Journey to the West menyadari bahwa Xuan, yang diwujudkan oleh Wukong, tidak memiliki belas kasih. Fakta bahwa dia lahir dari batu dan kecenderungannya untuk membunuh musuh tanpa belas kasihan menunjukkan karakteristik ini.

Sebaliknya, Tripitaka menunjukkan belas kasihnya terhadap semua jenis kehidupan sepanjang perjalanan. Konflik ini didramatisasi dalam Bab 56 di mana Wukong membunuh sekelompok perampok dan Tripitaka tidak mengakuinya.

Dengan terungkapnya kelemahan dan kekuatan dari "pikiran kosong" dan Xuan, secara alami Wu Cheng'en mengadopsi pandangan sinkretik.

Dalam bab terakhir, dia menjelaskan hubungan antara "pikiran kosong" dan Xuan dengan mengatributkan Laozi sebagai Orang Suci yang memulai Langit dan Bumi, dan Tathagata sebagai yang menyelamatkan seluruh dunia.

Pernyataan lain yang relevan terdapat dalam Bab 50, yang menyatakan bahwa Daoisme mencerahkan yang baik, dan Buddhisme yang bodoh. Pernyataan-pernyataan ini menyiratkan bahwa Journey to the West mengakui pentingnya keduanya karena tanpa bimbingan Daoisme, murid-murid Buddhis bisa dengan mudah terganggu oleh berbagai "siluman".

Tanpa Buddhisme, murid-murid Daois akan dengan mudah melupakan belas kasih dan dikuasai oleh dosa asal kesombongan dan kemarahan. Pengakuan akan saling ketergantungan antara Daoisme dan Buddhisme secara alami mengarah pada pengakuan akan pentingnya kedua agama ini, yang tercermin dalam pengangkatan Wukong dan Tripitaka ke dalam jajaran Buddha di akhir cerita.

Kesimpulan

Makna Xuan yang didefinisikan dalam Dao De Jing dalam konteks Journey to the West , memperlakukan semua kitab suci Daoisme dan Buddhisme sebagai teori untuk mengembangkan pikiran. Pikiran dapat beroperasi dalam dua keadaan mendasar.

Dalam keadaan 'kosong', pikiran menyatu dengan realitas sekitarnya dan dapat memahami kebenaran. Di sisi lain, dalam keadaan 'isi', pikiran membangun dunia berdasarkan konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya. Kedua sisi pikiran ini dihubungkan oleh Xuan, yang memiliki akses ke keduanya.

Dengan mengidentifikasi Sun Wukong dengan Xuan, dan Tripitaka dengan "pikiran kosong", Journey to the West menyajikan teori pikiran rinci yang menempatkan kepentingan yang sama pada kedua kemampuan pikiran untuk mencapai pencerahan.

Dengan wawasan ini, kita dapat melihat mengapa Wukong perlu belajar mengendalikan keinginannya selama perjalanan mencari kitab suci ke Barat yang panjang dan sulit ini dengan menghalau segala macam gangguan (yang diwakili oleh siluman) atau dari rekan seperjalanannnya sendiri Cu Pat Kai yang mewakili keinginan duniawi.