Dalam perjalanan itu kami berbagi cerita. Long Keluh merupakan desa terdekat dengan posisi jatuhnya pesawat. Menurut penuturan Pak Paulus, desa ini baru dihuni sekitar awal 1980-an. Jalan darat menuju desa ini pun baru dibangun tahun 2000-an. Sebelum jalan darat dibangun, warga Long Keluh menggunakan transportasi perahu untuk menuju kota Berau yang berjarak lebih dari 100 kilometer.
Paulus bukan orang pertama yang menemukan bangkai pesawat itu. Ia pertama mendaki ke reruntuhan pesawat pada 1980-an, sedangkan penemu pertama adalah rekannya—yang juga warga Dayak—sekitar akhir 1970-an. Namun demikian, selama ini tak ada satu pun warga yang tahu jenis pesawat maupun asal usulnya.
Istri Paulus bernama Rabika dan putrinya bernama Juriyani. Saya biasa memanggil mereka dengan panggilan sederhana—Bapak, Ibu dan Adik. Juriyani berkuliah di kota. Ia juga merupakan atlet arung jeram kebanggaan Provinsi Kalimantan Timur.
Saya melintasi medan yang begitu berat. Namun, gambaran medan berat itu seakan kontras dengan penampilan ketiga orang ini. Paulus mendaki dengan bertelanjang kaki, istrinya dengan selop karet, dan putri mereka mengenakan sandal japit. Saya bukan orang baru dalam penjelajahan hutan dan gunung, namun bagi saya medan pencarian ini sangat berat.
Di sela istirahat, saya mengobrol dengan Rabika. Saya menanyakan bagaimana bisa memiliki fisik sekuat itu? Bahkan saya melihatnya berjalan menanjak sambil bersantai sembari bermain gawai.
"Alam ini rumah kami," Rabika menjawab. "Sejak kecil kami sudah terbiasa keluar masuk hutan naik turun gunung buat cari buah, kadang cari kayu tertentu, berburu."
Saya lanjut bertanya, "Buah untuk dijualkah, Bu?"
"Tidak mas, untuk dimakan sendiri, di sini tidak mudah jual barang."
Setelah mendaki selama enam jam, akhirnya kami tiba di lokasi reruntuhan pesawat malang yang terempas lebih dari delapan dekade silam. Sehamparan dataran yang tidak seberapa luas. Pesawat menghadap ke arah barat daya. Bagian ekor hingga setengah badannya masih bisa dikenali, pun angka bercat putih yang menerakan 574 di bagian belakang juga masih terbaca, walau sudah ditumbuhi lumut.
Kondisi sayap kanan juga masih bisa dilihat, sementara sayap kiri tidak ada ditempatnya. Dua baling-balingnya terlempar terpisah sejauh 25 meter dari sayap, berada di lereng kemiringan, tergeletak bersebelahan dengan jarak sekitar tujuh meter satu sama lain.
Saya menyaksikan salah satu mesin baling-baling menindih satu penyangga roda pesawat. Saya kemudian berjalan naik ke arah sayap dan ekor pesawat. Tampak area yang cukup datar berukuran lebih kurang sekitar 100 meter persegi. Kemungkinan di area inilah regu infantri KNIL menguburkan empat jenazah, berdasarkan laporan tertulis "dikubur di lapangan kecil samping reruntuhan pesawat".
Sayang, saat berada di lokasi bangkai pesawat, tiba-tiba kami mendengar suara gemuruh guntur. Sebuah tanda peringatan alam bahwa kami harus segera kembali. Jika hujan turun, medan terjal yang kami lalui akan menjadi sangat licin dan berbahaya. Pun sungai yang nantinya harus kami susuri selama dua jam, berpotensi banjir bandang bila hujan lebat.
Menurut perhitungan saya, pencarian menuju lokasi jatuhnya M-574 terlalu berisiko dilakukan saat musim hujan. Sejatinya, Paulus sudah memperingatkan hal ini jauh hari sebelumnya. Akan tetgapi, di luar dugaan, Agustus yang kami perkirakan belum turun hujan ternyata di kawasan ini sudah beberapa kali hujan deras. Kami turun dalam waktu empat jam, tiba kembali di desa menjelang senja. Jelang malam, hujan deras mengguyur Long Keluh hingga pagi.
Kini, pesawat malang yang terempas di hutan Kalimantan itu sudah teridentifikasi. Saya melakukan pendokumentasian dan mencatat koordinatnya. Semoga pemangku kebijakan setempat mengupayakan remah Perang Dunia Kedua ini sebagai salah satu tujuan wisata sejarah yang mendukung ekonomi berkelanjutan bagi warga Long Keluh.