Ketika Paus Fransiskus Gugat Keadilan Iklim, Negara Kaya Kena Semprot

By Utomo Priyambodo, Jumat, 6 September 2024 | 10:00 WIB
Paus Fransiskus sering membela orang miskin termasuk ketika membahas soal keadilan iklim dan ketimpangan iklim antara negara miskin dan negara kaya. ( Catholic Church England and Wales/Flickr)

Nationalgeographic.co.id—Paus Fransiskus yang saat ini sedang berkunjung ke Indonesia tidak hanya dikenal peduli sosial, tetapi juga peduli lingkungan. Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Sedunia sekaligus Kepala Negara Vatikan itu sering berbicara mengenai keadilan iklim.

Dalam pidatonya di hadapan para peserta pertemuan puncak Vatikan tentang krisis iklim pada Mei 2024, misalnya, Paus Fransiskus mendorong masyarakat internasional untuk memanfaatkan kekuatan regeneratif alam guna bergerak menuju ketahanan iklim.

Lewat pidatonya itu Paus Fransiskus juga menyemprot negara-negara kaya dan orang-orang kaya yang serakah. Dia menegaskan, "Jalan menuju ketahanan iklim terhambat oleh keserakahan jangka pendek."

Lebih lanjut, Paus Fransiskus menyesalkan data mengenai perubahan iklim yang semakin memburuk, dan menyerukan tindakan segera “untuk melindungi manusia dan alam.”

Karena negara-negara berkembang menderita dampak perubahan iklim secara lebih langsung, ia bertanya kepada para pemimpin politik dari berbagai negara apakah “kita bekerja untuk budaya kehidupan atau budaya kematian?”

“Negara-negara yang lebih kaya, sekitar 1 miliar orang, menghasilkan lebih dari setengah polutan yang memerangkap panas,” kata Paus Fransisku seperti dilansir Vatican News. “Sebaliknya, 3 miliar orang miskin berkontribusi kurang dari 10%, tetapi mereka menderita 75% dari kerusakan yang diakibatkannya.”

Paus Fransiskus menyemprot negara-negara kaya dan orang-orang kaya yang serakah yang telah merusak lingkungan. (Mazur/ Catholic Church England and Wales/Flickr)

Paus Fransiskus mengingatkan bahwa perusakan lingkungan adalah “pelanggaran terhadap Tuhan” dan “dosa struktural” yang membahayakan semua orang.

“Kita mendapati diri kita dihadapkan dengan tantangan sistemik yang berbeda tetapi saling terkait: perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan lingkungan, kesenjangan global, kurangnya ketahanan pangan, dan ancaman terhadap martabat masyarakat yang terkena dampaknya,” jelasnya.

Setiap masalah ini, tambah Paus, harus ditangani dengan segera dan kolektif untuk melindungi orang miskin di dunia, terutama perempuan dan anak-anak, yang menanggung beban yang tidak proporsional.

Namun, ia mencatat, perempuan yang sama itu bukan hanya korban perubahan iklim tetapi juga “kekuatan yang kuat untuk ketahanan dan adaptasi.”

Baca Juga: Mengapa Paus Fransiskus Menciptakan Hari Orang Miskin Sedunia?

Memerangi Keserakahan dan Pandangan Jangka Pendek

Paus mengecam roda politik global dan nasional yang menghambat tindakan untuk melindungi mereka yang paling rentan terhadap perubahan iklim.

“Kemajuan yang tertib,” katanya, “terhambat oleh pengejaran keuntungan jangka pendek yang rakus oleh industri yang mencemari dan penyebaran disinformasi, yang menimbulkan kebingungan dan menghalangi upaya kolektif untuk mengubah arah.”

Masyarakat terpecah dan keluarga-keluarga dipaksa pindah, katanya, seraya menambahkan bahwa polusi atmosfer merenggut jutaan nyawa setiap tahun.

Sekitar 3,5 miliar orang rentan terhadap perubahan iklim dan karenanya lebih mungkin bermigrasi, membahayakan hidup mereka selama “perjalanan yang putus asa.”

Menanggapi krisis ini, Paus Fransiskus turut menyuarakan seruan sepenuh hati yang dilontarkan oleh para anggota pertemuan tersebut.

Bersama mereka, ia menyerukan “pendekatan universal dan tindakan tegas” untuk membawa perubahan arah politik.

Paus juga menyoroti perlunya "membalikkan kurva pemanasan global" dengan mengurangi separuh laju pemanasan selama 25 tahun ke depan.

Terakhir, ia mendesak para pembuat kebijakan untuk memanfaatkan kekuatan regeneratif alam guna menghilangkan sejumlah besar karbon dioksida dari atmosfer. Ia khususnya menyebutkan Cekungan Amazon dan Kongo, rawa gambut, hutan bakau, lautan, terumbu karang, lahan pertanian, dan lapisan es gletser.

"Pendekatan holistik ini dapat memerangi perubahan iklim, sekaligus menghadapi krisis ganda berupa hilangnya keanekaragaman hayati dan ketidaksetaraan dengan mengembangkan ekosistem yang menopang kehidupan," ujarnya.

Sebagai penutup, Paus Fransiskus mengajak berbagai upaya untuk menciptakan sinergi dan solidaritas global, serta "arsitektur keuangan baru," untuk menanggapi kebutuhan negara-negara di belahan bumi selatan dan negara-negara kepulauan yang terkena dampak darurat iklim.

"Ada kebutuhan untuk bertindak dengan urgensi, kasih sayang, dan tekad, karena taruhannya tidak bisa lebih tinggi lagi."