Benarkah Orang-orang Romawi Kuno Menyukai Tradisi Kekerasan?

By Galih Pranata, Rabu, 11 September 2024 | 12:00 WIB
Darah gladiator yang bercucuran setelah pertandingan pun diminum oleh orang Romawi. Dan di antara korban-korban tewas itu, penonton bersorak riang. Suatu tradisi kekerasan yang lumrah di era Romawi Kuno. (Jean-Léon Gérôme)

Nationalgeographic.co.id—Kita kerap berasumsi bahwa orang-orang yang hidup ribuan tahun silam hanyalah manusia versi kita yang serba kekurangan teknologi. Namun kenyataannya, mereka sangat berbeda.

Manusia-manusia yang hidup ribuan tahun lalu itu memang lahir dan dibesarkan di dunia yang sangat berbeda dengan hari ini, dengan lanskap mental dan moral yang berbeda sama sekali.

Barangkali dari sini juga sudut pandang mereka terbentuk, seratus delapan puluh derajat sama sekali berbeda dengan apa yang kita pandangi tentang kehidupan. Terkadang generasi kuno itu hidup dengan budaya yang sangat keras dan mengerikan.

Jika kini kita memandangi orang di sekitar kita yang senang menikmati penyiksaan dan kematian sebagai pengidap sakit mental atau psikopat, orang-orang normal pada zaman dulu dapat menghabiskan sepanjang hari di tempat-tempat seperti Colosseum.

Ya, Colosseum Roma, tempat di mana orang era Romawi Kuno menghabiskan hari-harinya untuk "menyaksikan manusia lain terbunuh dengan berbagai cara yang mengerikan demi bersenang-senang," tulis Khalid Elhassan.

Khalid menulisnya kepada History Collection dalam artikelnya berjudul When Boys Wore Dresses, and Other Fascinating Traditions and Conventions From History, yang diterbitkan pada 16 Mei 2024.

Sebelum berhenti beroperasi sebagai arena gladiator dan tempat eksekusi publik, Colosseum telah menjadi saksi bisu tewasnya satu juta orang, selain dari jutaan hewan yang dibantai demi kesenangan orang banyak.

Selera humor mereka juga kejam jika dibandingkan dengan standar humor manusia modern. Ambil contoh akibat kebakaran yang membakar Roma pada masa pemerintahan Kaisar Nero.

Banyak orang Kristen terlihat merayakannya—mereka tampaknya mengira kebakaran itu adalah tanda akhir zaman yang diantisipasi dan kedatangan kembali Yesus.

Dapat dimengerti, kegembiraan seperti itu di tengah kesengsaraan yang meluas membuat orang Romawi lainnya marah. Mereka curiga bahwa orang-orang Kristen telah memulai kebakaran atau setidaknya menyebarkannya, hingga menuntut agar mereka dihukum.

Orang-orang Kristen itu ditangkap, Kaisar Nero memerintahkan kepada para algojo agar orang-orang yang dieksekusi itu dijadikan sebagai tontonan, agar dapat menjadikan mereka sebagai contoh.

Baca Juga: Mengapa Colosseum Kekaisaran Romawi Masuk dalam Tujuh Keajaiban Dunia?

Puncaknya adalah ketika terdakwa yang akan dieksekusi itu diselimuti ter. Ketika mulai dibakar, kobaran api membumbung tinggi dan membesar, menjadikan mereka seperti obor berbahan manusia. Anehnya, penonton berpikir itu adalah hukuman yang tepat dan lucu!

Eksekusi dan kematian bak pertunjukan yang menghibur bagi orang Romawi yang memadati Colosseum. (Eugene Thirion/Wikimedia)

Pemandangan tentang pertunjukan mengerikan tak berhenti di situ. Selama berabad-abad, banyak yang percaya bahwa orang Kristen awal telah dibantai secara massal di Colosseum Roma.

Gambaran para martir Kristen yang diumpankan ke singa menjadi sebuah pertunjukan seni dan budaya di Romawi Kuno. Otoritas Romawi pun tidak merasa jijik untuk memberikan hukuman yang mengerikan kepada orang-orang Kristen.

Sejumlah cara keji juga biasa dilakukan oleh otoritas Romawi Kuno di mana pengadilan Romawi, sebagai perwakilan negara-kota Romawi, diizinkan untuk membunuh warga negara mereka secara mengerikan.

Satu pertunjukan yang mengerikan tapi paling diminati di Romawi adalah kisah tentang pertunjukan jungkat-jungkit Colosseum. Bukan pertunjukan seni, melainkan hukuman pada si penjahat.

Penjahat yang akan dieksekusi itu disiapkan di ujung jungkat-jungkit di mana algojo di sisi yang lainnya telah bersiap untuk melompat. Dengan segera, sang terdakwa sudah melayang setinggi empat meter ke udara!

Setelahnya, dia tidak jatuh kesakitan di atas tanah. Nyatanya, di bawah jungkat-jungkit tempat sang terdakwa terlempar, telah disiapkan jebakan. Semua penonton telah menunggu apa yang terjadi sambil bersorai, gemuruh menggema di dalam arena.

Pintu jebakan di lantai arena dibuka. Di dalamnya sudah menunggu singa, beruang, babi hutan, dan macan tutul yang siap sedia menerkamnya. Setelah jatuh ke ranjau, hewan-hewan yang kelaparan itu melompat ke arah terdakwa yang ketakutan.

Tanpa diduga-duga, sang terdakwa berhasil meloloskan dirinya dari sergahan hewan-hewan buas. Ia naik kembali ke atas, di saat sisi lain jungkat-jungkit yang berisi para algojo malah amblas.

Alhasil, beberapa algojolah yang terjerembab masuk ke dalam perangkap. Mereka yang terkejut tak dapat memberontak. Darah mulai membercak ke permukaan atas arena Colosseum.

Lebih anehnya, sejumlah penonton yang menyaksikan pertunjukan mengerikan itu mulai berdiri. Alih-alih mengiba karena ketakutan, mereka bertepuk tangan dan berteriak, menertawakan kejenakaan gelap yang terjadi di arena.

Demikian kehidupan yang aneh lagi mengerikan yang pernah terjadi dalam panggung sejarah. Semua karena kekayaan. Semua mendatangkan keuntungan besar dari hasil pertunjukan yang tak bermoral itu. Dan zaman, begitulah cara mendidik mereka.