Benarkah Kisah dalam Novel 'Journey to The West' Berbeda Jauh dari Kenyataannya?

By Sysilia Tanhati, Jumat, 13 September 2024 | 12:00 WIB
Perjalanan biksu Xuanzang yang hidup di era Dinasti Tang menginspirasi pembuatan novel Journey to The West. (Public Domain)

Pejabat itu rupanya memiliki poster buronan yang memuat deskripsinya. Beruntung, pejabat itu adalah sesama penganut Buddha yang lebih menghormati Xuanzang daripada dekrit kaisar. Maka, pejabat tersebut pun mengizinkan Xuanzang untuk melanjutkan perjalanannya ke India.

Perjalanan itu tidak menjadi lebih mudah. ​​Anak panah para pemanah dan gurun yang gersang semakin menghambat kemajuan Xuanzang. Saat itu ia belum mencapai perbatasan barat Tiongkok.

Seorang pedagang yang menawarkan untuk memandu Xuanzang melalui benteng perbatasan berbahaya Yumen Pass dua kali mengancam nyawanya. Ia takut biksu itu akan mengungkap upaya penyeberangan mereka.

Di Gaochang, negara makmur di Xinjiang, Xuanzang diundang untuk makan malam bersama Raja Ju Wentai. Raja itu terkesan dengan pengetahuan dan ketabahan biksu tersebut. Sang raja pun memberinya perbekalan, pelayan, dan hadiah upeti untuk memastikan perjalanan yang mudah.

Bahkan dengan dukungan seperti itu, kelompoknya sama sekali tidak siap menghadapi bahaya Gunung Lingshan. Xuanzang menulis, “Gunung itu membeku dalam es bahkan di musim semi dan panas. Bencana yang dikenal sebagai 'naga yang marah' (longsoran salju) sering terjadi.”

Badai salju yang terus-menerus membuat hampir mustahil untuk memasak. Setelah 7 hari hanya dua pertiga dari kelompok yang lelah itu yang muncul hidup-hidup di sisi lain gunung.

Ketika Xuanzang akhirnya mencapai India, ia berlayar menyusuri Sungai Gangga dengan megah. Ironisnya, ia ditangkap oleh bandit yang bermaksud mengurbankannya untuk dewi Hindu Durga.

Menghadapi kematian yang akan segera terjadi, biksu itu hanyut dalam apa yang ia yakini akan menjadi meditasi terakhirnya. Namun, dalam suatu campur tangan yang tampaknya ajaib, para bandit itu tiba-tiba datang membawa badai sebagai tanda ilahi. Mereka membiarkan biksu itu hidup.

Setelah melakukan perjalanan selama 4 tahun, Xuanzang akhirnya tiba di tujuannya, Nalanda, pusat agama Buddha di India. Ia menghabiskan 4 tahun berikutnya untuk mempelajari Discourse on the Stages of Yogic Practice. Sutra tersebutlah yang menariknya ke India sejak awal.

Jasanya di tahun-tahun berikutnya sebagai guru dan pendebat Buddha sangat diminati. Bahkan dua raja setempat hampir berperang memperebutkan siapa yang akan mendapat kehormatan menjadi tuan rumah ceramahnya.

Xuanzang berangkat dalam perjalanan pulang ke Chang'an pada 643 M. Ia membawa serta sutra, patung Buddha, dan benih tanaman India. Namun Xuanzang tidak yakin apakah ia akan diizinkan kembali. Sang biksu pun menulis surat yang sederhana dan ditulis dengan hati-hati kepada Kaisar Taizong.

Dalam suratnya, ia mengakui bahwa perjalanannya ilegal dan memuji kekuatan kaisar untuk memastikan ia terhindar dari bahaya. Kaisar tidak hanya memaafkan kejahatannya, tetapi juga mengirim pejabat untuk menemuinya di perbatasan barat.

Xuanzang menghabiskan sisa hidupnya menerjemahkan sutra yang dibawanya kembali. Ketika ia meninggal pada tahun 664, sejuta orang dari Chang’an dan provinsi lainnya menghadiri pemakamannya.

Kaisar Gaozong, putra Kaisar Taizong, yang dapat melihat makam Xuanzang dari istananya, sangat sedih akan kematian Xuanzang. Ia pun memerintahkan makam tersebut dipindahkan ke Bailuyuan, sebuah gunung di tenggara Chang’an. Makam biksu legendaris itu tetap berada di sana hingga kini.