Synchronize Festival, Berdiplomasi Melalui Musik Sembari Melestarikan Bumi

By National Geographic Indonesia, Senin, 16 September 2024 | 07:00 WIB
Pengunjung membawa gelas minum untuk diisi di stasiun isi ulang air minum 'Sumber Mata Air' di Synchronize Festival. (Nala Satmowi/Synchronize Festival)

  

Kisah oleh Titik Kartitiani

   

Nationalgeographic.co.id—Indonesia negara besar, kaya budaya, tapi kenapa belum optimal memanfaatkan? Soft diplomacy untuk mengenalkan Indonesia ke dunia belum digarap serius. Jika membahas diplomasi, kerap kali berupa relasi-relasi formal dengan dahi berkerut.

Ada diplomasi dengan pendekatan nonagresif yang menghubungkan antara musik (budaya), isu lingkungan, dan relasi antarnegara. Betapa musik punya kekuatan menghubungkan, menyatukan, hingga ajakan untuk bergerak. 

Pada awalnya, sebuah diskusi lintas keahlian bertema UK is Back memberi perenungan bagi saya tentang pentingnya soft diplomacy. Diskusi ini diinisasi oleh Dr. Christophe Dorigné-Thomson, peneliti isu internasional asal Britania Raya (United Kingdom) yang mengeksplorasi pandangan berbagai tokoh di bidang masing-masing tentang kemenangan mutlak Labour Party di Britania Raya pada 4 Juli 2024 dan kesempatan dan visi baru yang dilahirkan dari peristiwa penting ini. 

“Kini Britania Raya dipimpin oleh pemerintahan progresif yang memberikan harapan besar bagi Britania Raya untuk bangkit kembali dan menjadi lagi international development, green, clean energy, dan climate superpower yang mendukung kemajuan, keadilan, dan kemakmuran umat manusia,” kata Chris.

(Nala Satmowi/Synchronize Festival)

Dalam hal isu lingkungan, Edriana Noerdin, Direktur Riset Women Research Institute menyampaikan bahwa Labour Party mengusung isu perubahan iklim. Pada masa kekuasaan Pemerintahan Konservatif berlangsung COP26 di Glasglow sementara pada saat kampanye kemarin, Partai Konservatif justru tidak memasukkan isu sustainability dalam kampanyenya.

Diskusi berlanjut dengan pembahasan dari Dina Tantriani Pariata (Diplomat Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia), Ridwan Kamil (arsitek dan politisi), Kanti W. Janis (penulis, advokat-Ketua Presidium Kaukus Perempuan Politik Indonesia), Iwan Nurdin (Koordinator National Land Coalition), dan saya berbicata atas nama Green Movement Synchronize Festival.

“Banyak hal-hal luar biasa saya temukan tentang Inggris. Negara paling aktif dalam diplomasi kultural yaitu Inggris melalui British Council. Dalam hubungan diplomatik, tidak harus bisnis as usual, hi-level politik. Salah satunya bisa dengan diplomasi kultural,” kata Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat (2018-2023). Diplomasi kultural ini bisa kita bahas melalui budaya yang punya penikmat paling besar: musik.

Soft Diplomacy Melalui Musik dan Isu Lingkungan

Dalam hal festival musik yang peduli lingkungan Britania Raya punya festival musik besar yaitu Glastonbury. Perlu dicatat, festival musik yang peduli lingkungan berbeda dengan NGO lingkungan yang mengadakan festival musik yang tentu saja pasti peduli lingkungan.

Bila festival musik yang diselenggarakan oleh EO umum tapi peduli lingkungan, hal ini menunjukkan bahwa isu lingkungan bukan lagi sekadar kampanye tapi sudah melekat dalam pola pikir dan tindakan.

Keberhasilan Glastonbury dalam mengampanyekan lingkungan bisa dilihat dari tidak adanya penggunaan plastik sekali pakai di seluruh area festival sejak 2019, termasuk botol air plastik. Juga NGO ini berhasil menghimpun ribuan relawan.

Kampanye Love the Farm, Leave No Trace bukan hanya slogan, tapi juga menunjukkan penuruan sampah yang signifikan. Sampah tenda yang ditinggal berkurang hingga 98 persen dan mampu mendaur ulang 50 persen sampah. Angka daur ini lebih tinggi dari angka daur ulang rumah tangga di Britania Raya yaitu 44,6 persen.

Membicarakan festival musik yang peduli lingkungan, Indonesia punya Synchronize Festival. Festival musik multigenre ini diselenggarakan setiap tahun di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta sejak 2016. Pada tahun 2019, Synchronize Festival mulai peduli dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh sebuah festival musik.

“Dalam tiga hari, timbunan sampah yang dihasilkan bisa sampai 11 ton. Kita menjadi sadar, di sini hura-hura tapi ada dampak tidak menyenangkan. Sejak itu, kita punya green movement,” kata David Karto, Director of Festival Synchronize Festival.

Green movement Synchronize Festival bernama S.i.S.a. Kata harfiahnya memang sisa alias sampah. Sementara kepanjangannya System Integration for Sustainability Act.

“Kita tidak hanya ingin kampanye, tapi langsung aksi dari hal yang paling dekat dengan kita. Ingat, orang datang ke Synchronize untuk nonton musik. Jadi jangan dikasih yang berat-berat, tapi tetap bertindak untuk lingkungan tanpa mereka sadari,” kata Saleh Husein—yang akrab disapa Ale—Director of Artistic yang juga salah satu inisiator S.i.S.a.

Green movement Synchronize Festival terdiri atas empat pilar yaitu Internal Change Behavior, Waste Management, Bring Your Own Tumbler & Water Refill Station, dan Bike to Synchronize.

Keempat pilar ini merupakan aksi masyarakat urban untuk meminimalkan dampak buruk pada lingkungan. Internal Change behavior misalnya makan dengan prasmanan sehingga tidak pakai kotak makan sekali pakai, stryrofoam tidak diperbolehkan di area venue.

Dari aksi tersebut, data menunjukkan timbunan sampah berkurang. Awalnya 11.024 kilogram yang berasal 74.629 pengunjung pada 2022 menjadi 7.075 kilogram yang berasal dari 78.197 pengunjung. Botol plastik pun berkurang separuhnya dari 2.339 kilogram (2022) menjadi 1.092 kilogram (2023).

Dalam hal Waste Management, Synchronize bekerjasama dengan Greeners sejak 2019 hingga kini. Tahun ini, juga membuka peluang dengan Waste4Change untuk mewujudkan zero waste to landfill.

“Kami bisa mengolah sampah yang low value menjadi produk lain sehingga tidak ada sampah yang dibuang ke TPA,” kata Stephanus Kenny Bara Kristanto, Head of Communication and Engagement Waste4Change.

Selanjutnya, untuk mengurangi sampah botol plastik air kemasasan, SF menyerukan bawa tumbler sendiri dan bisa mengisi air minum dengan gratis di area “Sumber Mata Air”. “Selain mengurangi sampah, sebenarnya ini cara kita mengingatkan bahwa sumber air khususnya air minum itu seharusnya memang gratis,” tambah Ale. Di Indonesia, masih sedikit sekali fasilitas air minum gratis di area publik. Air harusnya adalah hak semua warga.

Terakhir, untuk mengurangi emisi karbon, Synchonize menyelenggarakan “Nebeng Gratis” bekerjasama dengan Transjakarta dan Bike to Synchronize. Warga-wargi (sebutan pengunjung Synchronize) yangd datang dengan sepeda akan mandapatkan jalur masuk tanpa antre dan ada parkir sepeda.

Indonesia jadi Inspirasi Musisi Luar Negeri untuk Berkarya

Synchronize Festival merupakan festival yang menampilkan musik Indonesia. Kekhasannya adalah mengulik lanskap yang “sangat Indonesia”, mulai dari para penampil, tata panggung, visual, dan semua penyajiannya.

Seperti tahun ini misalnya, Ale menampilkan mood board dari sudut-sudut pasar tradisional Jakarta. Kita bisa melihat ondel-ondel, bajaj, kursi plastik yang patah dan ditumpuk agar bisa terus dipakai, tumpukan karung beras, dan lain-lain. “Indonesia” yang sangat populis, dibawa ke panggung musik akbar.

Tahun ini, akan diselenggarakan 4-6 Oktober dengan mengusung tema Together Bersama juga menampilkan musik dari luar negeri. Hal ini bukan semata-mata Synchronize Festival mendatangkan musisi luar negeri, namun tetap musisi dari luar yang terkait Indonesia.

“Kita mau mengekspresikan secara lebih maksimal tentang ke-Indonesiaan. Musik Indonesia itu bisa berarti segala sesuatu yang memiliki narasi Indonesia,” kata David Tarigan, Artist and Repertoire Synchronize Festival.

Menurut Tarigan, selama ini kita selalu melihat ke dalam. Pernahkah kita melihat keluar? Seperti apa jejak Indonesia di luar negeri. Kita lihat narasi Indonesia dihasilkan oleh musisi dari luar negeri.

Tahun lalu, Synchronize Festival sebenarnya sudah menampilkan DJ Jepang yaitu Jet Baron. Dia kerap memainkan musik funky kota, yang terinspirasi dari musik yang dimainkan di club-club di kawasan Kota, Jakarta. Dia punya club sendiri di Jepang yang menjadi pusat aktivitas musik seperti ini.

Dalam Together Bersama ini, salah satu musisi luar negeri yang tampil yaitu Koes Barat, sebuah grup band dari Seattle, Amerika yang merilis sebuah album tribut untuk Koes Plus, memainkan ulang lagu-lagu Koes Plus dan Koes Bersaudara. Di Amerika album ini dirilis oleh label rekaman Sub Pop, yang dulu sempat dikenal sebagai label grup seperti Nirvana.

Selain itu, Arrington de Dyoniso bersama Singo Sembrono, musisi eksperimental asal Washington yang merilis album Malaikat dan Singa tahun 2009. Lagu-lagunya mengedepankan narasi Indonesia dengan lagu berbahasa Indonesia. Labelnya K Records, label indie yang dihormati di USA.

Tak hanya musik kekinian, musik tempo dulu Indonesia juga menginspirasi musisi luar negeri. Contohnya, Nusantara Beat—band dari Belanda yang terdiri dari anak-anak muda gen Y dan Z yang memainkan musik-musik Indonesia tahun 1970-an.

Diskusi terbuka bertajuk 'UK is Back' yang digelar pada Juli silam. Dari kiri ke kanan: Edriana Noerdin, Ridwan Kamil, Dina Tantriana Pariata, Irwan Nurdin, Titik Kartitiani, Kanti W. Janis, Christophe D. Thomson (Ridwan Syahbana)

“Kita seperti mendengar lagunya Yanti Bersaudara yang pop Sunda, dan lain-lain,” terang Tarigan. Mereka memainkan lagu-lagu pop Sunda persis seperti aslinya.

Ada juga Eastern Margins, sekelompok musik diaspora Asia Timur dan Asia Tenggara di Kota London. Mereka itu sekumpulan seniman yang mengekspresikan keasiatenggaraannya dan keindonesiaannya dan akan tampil besok di Synchronize Fertival 2024.

Dari musik karya musisi luar negeri, kita bisa melihat cara pandang orang luar Indonesia terhadap kekayaan Indonesia hingga bisa menginspirasi menjadi sebuah karya. Hal ini sangat potensial untuk membangun soft diplomacy sehingga branding Indonesia tinggi di mata dunia. 

“Marketing tentang strenght kita terlalu konvensional, mengandalkan Dubes yang sifatnya formal. Diplomasi yang kreatif, yang bikin Indonesia viral, masih kurang,” tambah Ridwan Kamil.

Jika branding Indonesia tinggi di mata dunia, maka investasi pun akan lebih mudah masuk dengan berbagai cara. Apalagi ketika isu lingkungan sudah menjadi pola pikir, bukan sekadar program. Niscaya, investasi hijau menjadi potensi besar Indonesia kelak.