Tambang Pasir Laut Buat Nelayan Habiskan Waktu 15 Kali Lebih Lama untuk Tangkap Ikan

By Muflika Nur Fuaddah, Sabtu, 21 September 2024 | 18:00 WIB
Potensi Dampak Buruk Kebijakan Ekspor Pasir Laut (Freepik)

Ketergantungan masyarakat pada nilai ekonomi penambangan pasir adalah penyebab perlawanan publik terhadap larangan penambangan pasir laut. Dibukanya kembali keran ekspor pasir akan meningkatkan penambangan pasir di daerah pesisir di berbagai wilayah di Indonesia.

Eksploitasi pasir laut memicu aktivitas ekonomi di kawasan laut yang berdampak pada pergeseran karakteristik demografi masyarakat setempat.

Meningkatnya aktivitas penambangan pasir, di satu sisi dapat secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena membuka lapangan kerja selain sebagai nelayan dan petani.

Kebiasaan masyarakat atau aktivitas ekonomi dasar yang dilakukan oleh masyarakat berubah seiring dengan masifnya penambangan pasir, dari nelayan menjadi pekerja di perusahaan penambangan pasir.

Aktivitas ekonomi baru ini dalam waktu yang relatif singkat memberikan peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat. Tidak hanya penambang pasir, tetapi juga nelayan dan petani.

Jika eksplorasi dan penambangan pasir tidak diatur, hal ini akan mengganggu aktivitas nelayan dan mempengaruhi mata pencaharian mereka dengan kerusakan yang ditimbulkan.

Rusaknya lingkungan secara signifikan berdampak pada kegiatan pariwisata, karena kerusakan tersebut mempengaruhi keindahan alam yang melekat. Dampak jangka panjang dari aktivitas penambangan pasir ditemukan di pesisir Pantai Galesong, Takalar, Sulawesi Selatan.

Aktivitas penambangan pasir laut yang dilakukan sejak tahun 2017 di pesisir Pantai Galesong telah menyebabkan hilangnya area penangkapan ikan. Akibatnya, nelayan yang awalnya membutuhkan waktu 12 hingga 24 jam untuk melaut sejauh 1 hingga 10 mil untuk menangkap ikan, karena aktivitas penambangan pasir harus melakukan upaya ekstra untuk pergi ke perairan dalam.

Berangkat ke perairan dalam membutuhkan waktu sekitar 15 hari untuk menangkap ikan. Ini berarti nelayan Pantai Galesong membutuhkan waktu 15 kali lebih lama untuk melaut.

Begitu juga di beberapa komunitas di Bantul, Yogyakarta, terdapat bukti empiris yang menunjukkan pengakuan terhadap prospek ekonomi yang terkait dengan penambangan pasir laut.

Beberapa individu dari komunitas ini menyatakan bahwa, dibandingkan dengan produksi beras, penambangan pasir lebih menguntungkan dan membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja.

Meskipun aktivitas penambangan pasir laut memiliki nilai ekonomi yang relatif positif bagi kesejahteraan masyarakat pesisir, perlu digarisbawahi bahwa pengurangan garis pantai dan tenggelamnya pulau-pulau kecil adalah bentuk kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan.

Artinya, keuntungan dari ekspor pasir hanya bertahan sementara. Di sisi lain, dampak lingkungan yang dirasakan akan berlangsung selamanya.

Jika hal ini terjadi dan karakteristik Struktur Sosial Ekonomi (SSE) masyarakat pesisir telah beralih dari nelayan dan petani menjadi penambang pasir, maka akan terjadi gangguan pada rantai kehidupan dan kesejahteraan dalam demografi masyarakat pesisir.

Utuk meghidupkan kembali tradisi melaut nantinya juga membutuhkan lebih banyak sumber daya dan pelatihan ulang, karena garis pantai telah berkurang sehingga area penangkapan ikan berada lebih jauh dari daratan.

Masyarakat harus melakukan upaya tambahan untuk menjelajahi perairan yang lebih dalam di mana kondisi ekosistem ikan tetap kondusif. Jarak penangkapan ikan yang lebih jauh tentu membutuhkan lebih banyak modal (biaya, waktu, dan tenaga) yang harus dikeluarkan untuk menangkap ikan, yang pada akhirnya akan mengurangi pendapatan masyarakat yang kembali bergantung pada hasil tangkapan ikan.

Selain itu, hak asasi manusia masyarakat pesisir untuk hidup di lingkungan yang sehat dan nyaman juga terancam akibat pengurangan garis pantai. Penyusutan ini disebabkan oleh tingginya laju penambangan dan eksploitasi pasir laut yang tidak diimbangi dengan tindakan pemantauan dan restorasi yang tepat serta cerdas secara ekologis.