Apakah Semua Gladiator Romawi Benar-Benar Bertarung Sampai Mati?

By Sysilia Tanhati, Selasa, 24 September 2024 | 18:03 WIB
Menjadi seorang gladiator Romawi merupakan profesi yang penuh dengan darah. Apakah semua gladiator benar-benar bertarung sampai mati? ( Jean-Léon Gérôme/Phoenix Art Museum)

Nationalgeographic.co.id—Film populer, seperti film Gladiator yang tayang pada tahun 2000, sering menggambarkan gladiator Romawi dalam pertarungan berdarah.

Pertarungan berakhir sampai setidaknya salah satu petarung terbunuh. Namun, di kehidupan nyata dalam sejarah Romawi, apakah gladiator benar-benar bertarung sampai mati?

Faktanya, kadang-kadang memang demikian, tetapi tidak selalu. Alfonso Manas, seorang peneliti di Universitas California, mengatakan bukti menunjukkan bahwa tingkat kematian gladiator sangat bervariasi.

Salah satu buktinya adalah sebuah lukisan makam yang berasal dari abad keempat SM di Paestum. Paestum merupakan sebuah kota Yunani di Italia yang akhirnya berada di bawah kekuasaan Romawi.

Lukisan itu menunjukkan bahwa para gladiator yang terluka parah. “Misalnya tombak yang tertancap di kepala dan tentu hal itu bisa berakibat fatal,” kata Manas. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pertarungan gladiator awal berakhir dengan kematian salah satu atau kedua petarung.

Namun, pertarungan gladiator direformasi setelah tahun 27 SM. Hal ini menyebabkan angka kematian menurun, kata Manas. Reformasi ini terjadi pada masa pemerintahan Augustus (sekitar tahun 30 SM hingga 14 M) dan Tiberius (sekitar tahun 14 hingga 37).

Pada abad ke-1 M kita mengetahui angka kematian dengan sempurna. Studi tentang hasil pertarungan gladiator yang dilukis di Pompeii menunjukkan bahwa dari 5 pertarungan, salah satunya berakhir dengan kematian.

Manas menambahkan bahwa angka kematian ini mungkin tetap sama pada abad kedua Masehi. Meskipun banyak gladiator yang menjadi budak, dengan menurunnya angka kematian, beberapa individu bebas mengajukan diri untuk menjadi gladiator.

Kita tidak mengetahui aturan spesifik yang berubah setelah tahun 27 SM. Namun, bukti menunjukkan bahwa seorang gladiator bisa menyerah dengan menjatuhkan perisainya dan mengulurkan jari telunjuknya.

Selain itu, ada summa rudis (wasit). Summa rudis menegakkan aturan dan menghentikan pertarungan jika seorang gladiator berada di ambang kematian. Jika orang yang mengadakan pertarungan gladiator mengabulkannya, yang kalah akan diizinkan meninggalkan arena tanpa cedera lebih lanjut.

Namun bagaimana jika penyelenggara acara bersikeras agar gladiatornya dibunuh? Bila terjadi, mereka harus membayar sejumlah besar uang kepada orang yang menyediakan gladiator tersebut.

Baca Juga: Benarkah Orang Romawi Pakai Keringat Gladiator untuk Tingkatkan Gairah?

Gladiator bisa disewa dari pemiliknya oleh penyelenggara pertarungan. Sewa-menyewa ini pun diatur oleh kontrak. Jika gladiator dikembalikan dalam keadaan terluka parah - atau tewas - sewa gladiator tersebut akan diubah menjadi sebuah penjualan.

“Dan harganya bisa naik sekitar 50 kali lipat dari biaya kontrak awal," Virginia Campbell, dosen studi klasik di The Open University.

Tingkat kematian gladiator tampaknya meningkat pada abad ketiga Masehi. Keinginan untuk melakukan kekejaman menjadi populer di kalangan masyarakat.

Saat pertarungan, pihak yang kalah tidak boleh meminta pengampunan. Sumber-sumber dari abad ke-3 menyatakan bahwa satu dari dua pertarungan berakhir dengan kematian pihak yang kalah.

Tingkat kematian yang tinggi ini mungkin terus berlanjut hingga abad keempat. Mosaik di situs Torrenova menunjukkan orang-orang yang kalah dalam serangkaian pertarungan gladiator. Permainan gladiator menurun pada abad kelima dan pertarungan yang tersisa kemungkinan besar tidak akan memakan korban jiwa.

Tahanan yang tidak terlatih

Tidak semua orang yang memasuki arena adalah gladiator yang dilatih dan diharapkan bisa melawan orang lain. Beberapa di antaranya adalah narapidana tidak terlatih yang dijatuhi hukuman mati.

Para tahanan ini tidak mendapat pelatihan. Para tahanan itu sering kali tidak memiliki atau hanya memiliki senjata yang paling sederhana. Hal ini biasanya berakhir dengan kematian tahanan yang tidak terlatih.

Para tahanan berhadapan dengan hewan-hewan buas yang kelaparan. Kematian ini akan menjadi tindakan pemanasan sebelum para gladiator terlatih bertarung.

Karena para tahanan tidak terlatih dan hanya mempunyai sedikit atau tanpa senjata, maka biayanya relatif murah. “Ini bukan hanya sekadar hiburan yang murah. Pertarungan ini menjadi seruan agar orang tidak melakukan kejahatan. “Hiburan dan kontrol sosial dalam satu kesempatan,” tambah Campbell.