Budaya Kuno Ini Membakar Rumahnya Setiap 60 Tahun Sekali, Untuk Apa?

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 28 September 2024 | 18:00 WIB
Misteri permukiman yang dibakar, mengapa budaya Cucuteni-Trypillia membakar rumahnya setiap 60-80 tahun sekali? (Public Domain)

Evgeniy Yuryevich Krichevski, seorang arkeolog Rusia, mengambil pendekatan yang lebih pragmatis. Ia berpendapat bahwa masyarakat prasejarah Eropa Timur tidak menghancurkan bangunan mereka melainkan memperkuatnya. Menurutnya, panas api akan mengeraskan dinding tanah liat menjadi permukaan keramik. Sementara asap akan mengasapi ruang hidup.

Penelitian lain bahkan mengungkapkan jika bangunan lama dibakar terutama demi memberi ruang bagi yang baru.

Merekonstruksi masa lalu

Ada sejumlah cara untuk menguji teori-teori ini, yang sebagian besar mengarah kembali ke lokasi penggalian itu sendiri.

Pada tahun 2022, tim arkeolog dan konservasionis Hungaria berupaya memahami lebih baik kebiasaan tersebut. Mereka menganalisis tanah dan materi tanaman yang ditemukan dari sebuah situs dekat Budapest. Dari tiga peristiwa kebakaran yang diketahui terjadi di situs Szazhalombatta-Foldvar, dua tampaknya telah dimulai dengan sengaja.

Arkeolog Arthur Bankoff dan Frederik Winter mengambil arah yang berbeda. Pada tahun 1977, mereka membeli sebuah rumah bobrok dari sebuah keluarga petani di Lembah Sungai Morava Hilir di Serbia. Mereka tidak merenovasi bangunan yang kebetulan terbuat dari bahan yang sama dengan struktur Cucuteni-Trypillia. Para arkeolog ingin melihat apa yang akan terjadi jika mereka membakarnya.

Meskipun atap kayunya hancur, dinding rumah yang diplester tanah liat secara mengejutkan tetap utuh. Hal ini menunjukkan bahwa pembakaran prasejarah itu kemungkinan besar memang disengaja.

Bankoff dan Winter bukan satu-satunya peneliti yang melakukan pembakaran atas nama sains. Pada tahun 2018, tim arkeolog Ukraina dan Inggris membakar dua bangunan yang akurat secara historis.

Eksperimen mereka sedikit berbeda. Alih-alih menggunakan rumah yang sudah ada sebelumnya, mereka membangun dari awal dengan gaya budaya Cucuteni-Trypillia. Namun, hasilnya hampir identik. Dinding kedua bangunan utuh, begitu pula berbagai pot tanah liat dan patung-patung yang ditempatkan para peneliti di dalamnya. Terlebih lagi, tidak ada api yang berhasil menyebar. Hal ini menunjukkan bahwa praktik tersebut aman dan dapat dikendalikan.

Para peneliti kagum dengan jumlah bahan bakar yang pasti digunakan orang-orang prasejarah. Bahan bakar digunakan untuk mencapai suhu maksimum yang tercatat dalam sedimen. Secara khusus, mereka membutuhkan lebih dari 130 pohon kayu bakar untuk setiap bangunan satu lantai. Dan 250 pohon untuk bangunan dua lantai. Dengan demikian, permukiman dengan 100 rumah akan membutuhkan hutan seluas 3,8 mil persegi.

Alhasil, para peneliti pun memuji prestasi logistik yang mampu dilakukan oleh budaya kuno ini.