Nationalgeographic.co.id—Antara 5500 dan 2750 SM, wilayah Rumania, Moldova, dan Ukraina dihuni oleh suku yang dikenal sebagai budaya Cucuteni-Trypillia. Meskipun tidak setenar bangsa Sumeria, budaya Cucuteni-Trypillia sama pentingnya. Mereka adalah masyarakat tertua yang dikenal di Eropa. Dan mungkin merupakan salah satu nenek moyang utama peradaban manusia secara umum.
Budaya Cucuteni-Trypillia—dinamai berdasarkan dua situs penggalian yang masing-masing terletak di Rumania dan Ukraina—sangat maju pada masanya.
Mereka membudidayakan gandum, jelai, dan kacang-kacangan. Masyarakatnya juga membangun tungku besar untuk memanggang tembikar tanah liat berwarna-warni dan patung-patung. Mereka bahkan mengenakan perhiasan yang terbuat dari tembaga.
Kapak Cucuteni-Trypillia juga terbuat dari tembaga, digunakan untuk menebang pohon demi arsitektur mereka yang mengagumkan. Dengan memperkuat rangka kayu dengan tanah liat kering, budaya Cucuteni-Trypillia mampu membangun beberapa bangunan terbesar di dunia. Bangunan tersebut terdiri beberapa lantai, dengan luas hampir seukuran dua lapangan basket.
“Bangunan-bangunan Cucuteni-Trypillia membuat bingung para arkeolog selama berabad-abad,” tulis Tim Brinkhof di laman Big Think. Alasannya bukanlah ukuran bangunannya, tetapi kondisi pelestariannya yang aneh. Setelah diamati lebih dekat, permukiman secara misterius terbakar habis setiap 60 hingga 80 tahun.
Membakar rumah-rumah setiap 60-80 tahun sekali
Cucuteni-Trypillia bukan satu-satunya budaya prasejarah yang membakar permukimannya. Di Eropa Tengah dan Timur pada zaman neolitik rumah-rumah sering dibakar. Karena kebiasaan itu, maka muncul istilah “cakrawala rumah yang terbakar”.
Dicetuskan oleh arkeolog Inggris-Amerika Ruth Tringham, istilah ini menunjukkan suatu wilayah yang meliputi sebagian wilayah Serbia, Kroasia, Bulgaria, dan Hungaria. Wilayah-wilayah itu merupakan tempat tinggal suku Cris, Starcevo, Dudesti, dan Vinca.
Mengapa budaya-budaya tersebut membakar permukiman mereka? Selama ini, kebakaran dianggap dimulai oleh penyebab-penyebab yang lebih rutin: sambaran petir atau serangan musuh. Hipotesis ini masuk akal. Terutama jika kita mempertimbangkan bahwa sebagian besar rumah prasejarah pasti diisi dengan bahan-bahan yang sangat mudah terbakar. Selain itu, mengapa seseorang menghancurkan properti mereka sendiri dengan sengaja?
Para peneliti telah menemukan beberapa alasan yang sangat bagus. Mirjana Stevanovic, arkeolog Serbia, berpendapat bahwa struktur-struktur budaya tersebut dihancurkan oleh pembakaran yang disengaja. Menurutnya, pembakaran itu kemungkinan besar karena alasan-alasan yang bersifat simbolis.
Vikentiy Khvoyka, seorang sarjana perintis dari sisi Trypillia, percaya bahwa rumah-rumah dibakar ketika penghuninya meninggal. Pembakaran itu mengubah status dari tempat tinggal orang yang masih hidup menjadi rumah orang yang sudah meninggal.
Baca Juga: Selisik Sejarah Serangan Militer Kekaisaran Ottoman ke Eropa dan Mesir
Evgeniy Yuryevich Krichevski, seorang arkeolog Rusia, mengambil pendekatan yang lebih pragmatis. Ia berpendapat bahwa masyarakat prasejarah Eropa Timur tidak menghancurkan bangunan mereka melainkan memperkuatnya. Menurutnya, panas api akan mengeraskan dinding tanah liat menjadi permukaan keramik. Sementara asap akan mengasapi ruang hidup.
Penelitian lain bahkan mengungkapkan jika bangunan lama dibakar terutama demi memberi ruang bagi yang baru.
Merekonstruksi masa lalu
Ada sejumlah cara untuk menguji teori-teori ini, yang sebagian besar mengarah kembali ke lokasi penggalian itu sendiri.
Pada tahun 2022, tim arkeolog dan konservasionis Hungaria berupaya memahami lebih baik kebiasaan tersebut. Mereka menganalisis tanah dan materi tanaman yang ditemukan dari sebuah situs dekat Budapest. Dari tiga peristiwa kebakaran yang diketahui terjadi di situs Szazhalombatta-Foldvar, dua tampaknya telah dimulai dengan sengaja.
Arkeolog Arthur Bankoff dan Frederik Winter mengambil arah yang berbeda. Pada tahun 1977, mereka membeli sebuah rumah bobrok dari sebuah keluarga petani di Lembah Sungai Morava Hilir di Serbia. Mereka tidak merenovasi bangunan yang kebetulan terbuat dari bahan yang sama dengan struktur Cucuteni-Trypillia. Para arkeolog ingin melihat apa yang akan terjadi jika mereka membakarnya.
Meskipun atap kayunya hancur, dinding rumah yang diplester tanah liat secara mengejutkan tetap utuh. Hal ini menunjukkan bahwa pembakaran prasejarah itu kemungkinan besar memang disengaja.
Bankoff dan Winter bukan satu-satunya peneliti yang melakukan pembakaran atas nama sains. Pada tahun 2018, tim arkeolog Ukraina dan Inggris membakar dua bangunan yang akurat secara historis.
Eksperimen mereka sedikit berbeda. Alih-alih menggunakan rumah yang sudah ada sebelumnya, mereka membangun dari awal dengan gaya budaya Cucuteni-Trypillia. Namun, hasilnya hampir identik. Dinding kedua bangunan utuh, begitu pula berbagai pot tanah liat dan patung-patung yang ditempatkan para peneliti di dalamnya. Terlebih lagi, tidak ada api yang berhasil menyebar. Hal ini menunjukkan bahwa praktik tersebut aman dan dapat dikendalikan.
Para peneliti kagum dengan jumlah bahan bakar yang pasti digunakan orang-orang prasejarah. Bahan bakar digunakan untuk mencapai suhu maksimum yang tercatat dalam sedimen. Secara khusus, mereka membutuhkan lebih dari 130 pohon kayu bakar untuk setiap bangunan satu lantai. Dan 250 pohon untuk bangunan dua lantai. Dengan demikian, permukiman dengan 100 rumah akan membutuhkan hutan seluas 3,8 mil persegi.
Alhasil, para peneliti pun memuji prestasi logistik yang mampu dilakukan oleh budaya kuno ini.