Tanam Paksa dan Etnis Cina di Balik Geliat Ekonomi Cirebon Abad ke-19

By Galih Pranata, Senin, 30 September 2024 | 10:07 WIB
Potret Societeit Tersana di kawasan Suikerfabriek Nieuw Tersana, Cirebon, sekitar tahun 1890-1911. Tanam Paksa dan kehadiran etnis Cina dalam pusaran pabrik gula menambah geliat ekonomi Cirebon abad-19. (Tropenmuseum)

Mereka bertugas untuk mengatur, mengenakan pajak, dan mengendalikan berbagai Etnis Cina di Jawa, serta memastikan kepatuhannya terhadap setiap kebijakan VOC. Anggota Pemerintahan Tiongkok diberi pangkat militer—letnan, kapten, atau mayor.

Di bawah rezim VOC, kapten atau mayor Tiongkok secara langsung berada di bawah Gubernur Jenderal tetapi, setelah berdirinya pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada tahun 1820, ditempatkan di bawah otoritas regional Belanda dengan kapten atau mayor bertanggung jawab langsung kepada kolonial Belanda.

Orang Tionghoa datang untuk tinggal di kawasan kota tertentu, sementara pergerakan mereka dibatasi melalui sistem izin (passenstelsel). Di dalam lingkungan kota ini, kehidupan sosial dan ekonomi diatur berdasarkan afiliasi klan dan ikatan keluarga.

Hal itu termasuk asosiasi agama, bisnis, dan kesejahteraan. Seperti yang terlihat selama beberapa dekade berikutnya, Tan Tiang Keng sebagai perwira Tiongkok, dapat mendominasi perusahaan gula Tiongkok di Cheribon.

Sobana mengungkap data, dimana etnis Cina memiliki dominasi yang hampir seimbang dalam hal penguasaan lahan perkebunaan di Afdeeling—pembagian administratif tingkat II di Hindia Belanda yang dikepalai oleh asisten residen—Cheribon.

Afdeling Cirebon, perkebunan tebu berada di Sindang Laut seluas 500 bau, milik orang Belanda, di Karangsambung seluas 300 bau, milik orang Cina, di Ciledug seluas 705 bau, milik orang Cina dan Belanda, dan di Tersana seluas 480 bau, milik orang Belanda.

Dengan begitu, geliat ekonomi Cheribon bertahan sampai dengan depresi besar yang menimpa kebanyakan industri gula di Jawa. Malaise telah membuat banyak perusahaan milik etnis Cina gulung tikar setelahnya.