Tanam Paksa dan Etnis Cina di Balik Geliat Ekonomi Cirebon Abad ke-19

By Galih Pranata, Senin, 30 September 2024 | 10:07 WIB
Potret Societeit Tersana di kawasan Suikerfabriek Nieuw Tersana, Cirebon, sekitar tahun 1890-1911. Tanam Paksa dan kehadiran etnis Cina dalam pusaran pabrik gula menambah geliat ekonomi Cirebon abad-19. (Tropenmuseum)

Nationalgeographic.co.id—Kegiatan perekonomian di Cheribon—nama Cirebon di era Hindia Belanda—paling menonjol berlangsung dari pelabuhan. Letak geografinya yang strategis membuat geliat ekonomi Cirebon pada abad ke-19 bermula di sana.

Pelabuhan Cheribon merupakan salah satu pelabuhan di Pulau Jawa yang menduduki fungsi penting dalam kegiatan perdagangan melalui laut. Pelabuhan Cheribon sering didatangi oleh para pedagang, baik pedagang dalam negeri maupun luar negeri.

Dari laut, geliat ekonominya merambah ke darat. Oleh karenanya, di abad ke-19, pembuatan karung dari jerami menjadi masif. Musababnya, sebagai medium pengangkut yang membawa barang ekspor ke pelabuhan, maupun dari laut ke pasar-pasar.

Pasar-pasar, baik yang berada di sekitar pelabuhan maupun yang berada di perdalaman menjadi ramai. Hasil bumi mulai dibawa dari perkebunan ke pasar-pasar, atau diekspor melalui pelabuhan.

Hasil bumi atau "hasil pertanian yang dipasarkan selain padi atau beras adalah kentang, bawang, kacang, dan lain-lain," tulis A. Sobana Hardjasaputra. seorang profesor di bidang Sejarah di Universitas Padjajaran bersama tim.

Tulisan Sobana dkk., ditulis dalam sebuah buku berjudul Cirebon: dalam Lima Zaman (Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20) yang diterbitkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat pada 2011 silam.

Hasil perkebunan lainnya yang telah diolah berupa gula aren atau gula merah. Dapat dipastikan gula aren pun termasuk komoditas yang dipasarkan kala itu.  

Tercatat pada tahun 1810, Cheribon dan Indramayoe memiliki sekitar 32 pasar dan 104 warung. Kehidupan ekonomi perdagangan bukan hanya berlangsung di daerah pelabuhan atau pesisir, tetapi terjadi pula di daerah pedalaman.

Utamanya ketika pemerintah mengusung kebijakan Cultuurstelsel atau Tanam Paksa yang diterapkan pada tahun 1830. Derak perekonomian di Cheribon kala Tanam Paksa semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Tanaman wajib yang ditetapkan pemerintah kolonial dalam pelaksanaan Tanam Paksa adalah tebu, kopi, dan indigo (tarum). Menjadi komoditas yang sangat menguntungkan dan diekspor melalui pelabuhan.

Umumnya, penanaman tanam itu dilakukan di areal pesawahan. Penanamannya dilakukan oleh para sikep (petani). Sawah-sawah milik petani beralih fungsi menjadi perkebunan tanaman tersebut sesuai dengan penetapan prinsip Tanam Paksa.

Baca Juga: Kenapa Dalam Sistem Penjajahannya Belanda Menerapkan Monopoli?

Ambil contoh, "pada tahun 1830 areal sawah di daerah Sindanglaut yang menjadi perkebunan tebu, cukup luas, bahkan di Desa Ender, dibuka areal persawahan baru. Sebagian dari areal sawah itu digunakan untuk penanaman tebu," imbuh Sobana.

Tahun 1834, lahan sawah yang menjadi perkebunan tebu di Cheribon Timur seluas 1.300 bau—satuan luas lahan, setara dengan 7000-7400 meter persegi. Hal itu menyebabkan timbulnya perlawan dari para petani terhadap pihak pemerintah kolonial.

Pada gilirannya, pengalihan fungsi lahan pertanian telah dianggap melanggar prinsip-prinsip petani sehingga muncul gejolak akibat diberlakukannya sistem Tanam Paksa.

Meski demikian, antara Tanam Paksa dan Pelabuhan menjadi kunci dari geliat perekonomian Cheribon pada abad ke-19. 

Potret udara Suikerfabriek Nieuw Tersana atau Pabrik Gula Tersana Baru, Babakan, Kabupaten Cirebon sekitar 1920. (Nederlandsch Handeel Maatschapij (NHM))

Selain Tanam Paksa yang jadi kunci, menurut Peter Post dalam bukunya he Kwee Family of Ciledug (2018) bahwa Cheribon juga memiliki komunitas Tionghoa atau Peranakan Cina yang besar pada saat itu, dan kebanyakan menganut Islam. Mereka jadi kunci dari geliat ekonomi Cheribon sejak lama.

Para pemimpin komunitas etnis Cina di Cheribon memiliki hubungan dekat dengan istana kesultanan Cirebon. Kota pelabuhan Cheribon sejak abad ke-15 telah menjalin hubungan dagang yang erat dengan Tiongkok selatan.

Setelahnya, menurut Sobana, ketika Tanam Paksa diterapkan di Cheribon, banyak etnis Cina yang turut mengelola perkebunan. Mereka jadi pesaing para pengelola onderneeming (perkebunan Belanda).

Peter Post juga menguatkan data, "seperti halnya di wilayah lain di Jawa, industri gula di Cheribon juga dirintis oleh pabrik gula asal Tiongkok."

Sebagai gambaran, selain beberapa pabrik gula Cina yang lebih kecil, pabrik gula modern Loewoenggadjah di distrik Sindang Laut juga dimiliki oleh konglomerat Cina, Tan Tiang Keng, yang juga memiliki pabrik Tjiledoek (Ciledug) di distrik yang sama.

Para etnis Cina sendiri memiliki struktural politiknya sendiri, di mana mereka memilih seorang kapitan sebagai pemimpin etnis dan turunannya atau peranakannya. Pada tahun 1848, Tan Tiang Keng sendiri diangkat sebagai pejabat tinggi Cina di Cheribon.

Menjadi perwira Cina merupakan jabatan penting dalam pemerintahan kolonial Belanda. Sistem perwira Cina (Chineesch Bestuur) diperkenalkan sejak era VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada tahun 1619.

Mereka bertugas untuk mengatur, mengenakan pajak, dan mengendalikan berbagai Etnis Cina di Jawa, serta memastikan kepatuhannya terhadap setiap kebijakan VOC. Anggota Pemerintahan Tiongkok diberi pangkat militer—letnan, kapten, atau mayor.

Di bawah rezim VOC, kapten atau mayor Tiongkok secara langsung berada di bawah Gubernur Jenderal tetapi, setelah berdirinya pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada tahun 1820, ditempatkan di bawah otoritas regional Belanda dengan kapten atau mayor bertanggung jawab langsung kepada kolonial Belanda.

Orang Tionghoa datang untuk tinggal di kawasan kota tertentu, sementara pergerakan mereka dibatasi melalui sistem izin (passenstelsel). Di dalam lingkungan kota ini, kehidupan sosial dan ekonomi diatur berdasarkan afiliasi klan dan ikatan keluarga.

Hal itu termasuk asosiasi agama, bisnis, dan kesejahteraan. Seperti yang terlihat selama beberapa dekade berikutnya, Tan Tiang Keng sebagai perwira Tiongkok, dapat mendominasi perusahaan gula Tiongkok di Cheribon.

Sobana mengungkap data, dimana etnis Cina memiliki dominasi yang hampir seimbang dalam hal penguasaan lahan perkebunaan di Afdeeling—pembagian administratif tingkat II di Hindia Belanda yang dikepalai oleh asisten residen—Cheribon.

Afdeling Cirebon, perkebunan tebu berada di Sindang Laut seluas 500 bau, milik orang Belanda, di Karangsambung seluas 300 bau, milik orang Cina, di Ciledug seluas 705 bau, milik orang Cina dan Belanda, dan di Tersana seluas 480 bau, milik orang Belanda.

Dengan begitu, geliat ekonomi Cheribon bertahan sampai dengan depresi besar yang menimpa kebanyakan industri gula di Jawa. Malaise telah membuat banyak perusahaan milik etnis Cina gulung tikar setelahnya.