Kisah Nelayan Terakhir Pulau Buru di Tengah Gempuran Tambang Emas Ilegal

By Utomo Priyambodo, Jumat, 11 Oktober 2024 | 18:00 WIB
Para nelayan di Pulau Buru. Jumlah nelayan di pulau ini makin berkurang setiap tahunnya. Banyak yang beralih jadi penambang emas ilegal. (Yastrib Akbar Sowakil/Jala Ina)

Profesi terbanyak lainnya yang dipilih para mantan nelayan adalah petani bawang (24,4%), pedagang (13,3%), dan pengumpul batu (11,1%).

Kegiatan penambangan emas ilegal menggunakan merkuri di Gunung Botak juga telah mencemari wilayah pesisir dan laut sehingga kegiatan perikanan nelayan tangkap yang tersisa semakin terancam. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), organisasi nirlaba lainnya, juga pernah menyoroti ancaman kegiatan ekstraktif di Indonesia secara nasional.

Berdasarkan data Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut Tahun 2021, jumlah nelayan tangkap di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam rentang 2010-2019. Pada 2010, jumlah nelayan tangkap tercatat sebanyak 2,16 juta orang, sedangkan pada 2019 jumlahnya menjadi 1,83 juta orang.

Kondisi perahu yang ditinggal oleh nelayan di Pulau Buru. Jumlah nelayan di pulau itu makin berkurang. (Yastrib Akbar Sowakil/Jala Ina)

Menurut catatan WALHI, penurunan jumlah nelayan di Indonesia didorong oleh dua hal, yaitu krisis iklim dan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Sebagai pemuda yang besar di Pulau Buru, Akbar heran mengapa kegiatan penambangan emas ilegal di Gunung Botak belum juga ditutup secara permanen. Sementara itu, sudah bertahun-tahun nelayan di sana belum juga memiliki tempat pengolahan dan pelelangan ikan yang memadai.

“Nelayan adalah identitas dari sebuah negara yang selalu ‘gembar-gembor’ tentang potensi maritimnya. Jika benar pemerintah berpihak pada masyarakat pesisir dan nelayan, sudah saatnya mengambil langkah nyata, sebelum mereka menggantung jaring dan meninggalkan perahu-perahu di bibir pantai,” tegas Akbar.