Mengenal Lebih Dekat Burung-burung Fakfak dan Kearifan Lokalnya

By Ade S, Minggu, 13 Oktober 2024 | 10:03 WIB
Senior Vice President and Executive Chair Konservasi Indonesia Meizani Irmadhiany (dua kiri), bersama tokoh budaya Fakfak, Fredrikus Warpopor, dan Ady Kristanto dari Birdwatcher and Wildlife Photography Enthusiast pada saat peluncuran dan diskusi buku bertajuk Burung-burung dalam Tinjauan Budaya Mbaham Matta, Fakfak, di Serambi Salihara, Jakarta, Jumat 11 Oktober 2024. (Dok.Konservasi Indonesia/Nuniek)

Nationalgeographic.co.id—Dalam rangka memperingati Hari Migrasi Burung Sedunia, Konservasi Indonesia (KI) mendukung penuh komunitas Fakfak Birding dalam upaya pelestarian alam.

Komunitas ini telah berhasil merangkum kekayaan alam Fakfak dalam sebuah buku berjudul "Burung-burung dalam Tinjauan Mbaham Matta, Fakfak". Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Obor Indonesia dan resmi diluncurkan hari ini.

Selama kurun waktu 2020 hingga 2024, para anggota Fakfak Birding telah melakukan pengamatan intensif terhadap berbagai jenis burung yang menghuni Hutan Cagar Alam Fakfak.

Hasil pengamatan mereka yang luar biasa ini kemudian disusun menjadi sebuah buku yang kaya akan informasi dan gambar. Lebih dari 70 jenis burung, lengkap dengan nilai budaya masyarakat setempat, berhasil didokumentasikan dalam buku ini.

Salah satu penemuan menarik dari penelitian ini adalah berhasilnya mengidentifikasi tiga jenis burung Cenderawasih endemik Papua yang sangat langka, yaitu Cenderawasih Kuning Kecil (Lesser Bird of Paradise), Cenderawasih Toowa Cemerlang (Magnificent Riflebird), dan Cenderawasih Belah Rotan (Magnificent Bird of Paradise). Kehadiran burung-burung cantik ini semakin memperkaya keanekaragaman hayati di kawasan Fakfak.

Ketua Fakfak Birding, Purwanto menyatakan bahwa selain menyaksikan keberadaan burung endemik Papua tersebut, sejak komunitas kami berdiri tujuh tahun lalu, di lokasi tersebut kami juga menjumpai keberadaan puluhan jenis lainnya.

"Melalui buku ini kami berharap dapat menyampaikan pesan kepada generasi muda mengenai pentingnya pelestarian burung, utamanya yang berkaitan dengan tradisi dan budaya. Dari buku ini juga kami ingin mengingatkan kembali pentingnya hubungan antara manusia dengan alam,” kata Purwanto.

Fakfak Birding, menurut Purwanto, merupakan sebuah inisiatif yang lahir pada tahun 2018 yang beranggotakan sekelompok individu dan pemilik hak ulayat yang memiliki ketertarikan yang sama dalam menjaga kelestarian satwa liar, khususnya burung-burung di kawasan cagar alam.

Lebih dari 15 anggota komunitas ini telah berkontribusi dalam mendokumentasikan berbagai jenis burung melalui lensa kamera mereka, yang kemudian dimuat dalam buku "Burung-burung dalam Tinjauan Mbaham Matta, Fakfak".

Kearifan lokal masyarakat Papua, khususnya suku Mbaham Matta yang mendiami Semenanjung Bomberai, turut memperkaya isi buku ini. Masyarakat setempat memiliki kepercayaan yang kuat terhadap makna di balik kemunculan berbagai jenis burung.

Misalnya, burung Kasuari Gelambir Ganda (Southern cassowary) dianggap sebagai penunjuk jalan yang penuh makna, namun juga dapat membawa seseorang ke arah yang salah jika niatnya buruk.

Baca Juga: Dunia Hewan: Bagaimana Burung Temukan Sahabat Lintas Spesies saat Migrasi?

Sementara suara burung Bubut Pini (Ivory-billed coucal) di pagi hari dipercaya sebagai pertanda baik untuk melubangi tifa tumour, alat musik tradisional Fakfak. Ada pun suara burung Raja-udang paruh-kait saat purnama diyakini sebagai pertanda kehadiran roh-roh jahat.

Meizani Irmadhiany, Senior Vice President & Executive Chair Konservasi Indonesia, mengungkapkan kekagumannya terhadap antusiasme komunitas Fakfak Birding.

Menurutnya, ketertarikan masyarakat Fakfak terhadap dunia burung menunjukkan betapa mereka mencintai alam sekitar. Meizani berharap semangat ini bisa menginspirasi komunitas lain di seluruh Indonesia, terutama di Papua yang kaya akan keanekaragaman hayati, untuk melakukan hal serupa.

Meizani menuturkan bahwa komunitas pemantau burung seperti Fakfak Birding tidak hanya menyukai aktivitas fotografi, namun mereka juga ingin berkontribusi dalam pendokumentasian kekayaan alam yang ada di ruang hidupnya. Konservasi Indonesia tentunya mendukung pelestarian keanekaragaman hayati seperti yang dilakukan komunitas ini.

"Kami berharap, para pecinta fotografi dan juga penggemar burung lainnya dapat tergerak untuk menghasilkan karya yang dapat berguna untuk pengetahuan generasi selanjutnya, seperti yang dibuat oleh Fakfak Birding,” ujar Meizani.

Senada dengan Meizani, tokoh budaya Fakfak, Fredrikus Warpopor, juga menekankan pentingnya burung bagi masyarakat setempat. Menurutnya, burung-burung yang hidup di hutan cagar alam memiliki peran yang sangat berarti dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku Mbaham Matta.

Filosofi dan kepercayaan masyarakat terhadap burung telah terjalin sejak lama dan menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya mereka.

Meizani sendiri mengaku memiliki kekhawatiran. Pertama kepada generasi muda yang belum mengetahui jenis burung beserta maknanya. Kedua pada para orang tua yang hingga saat ini masih kesulitan mengenali jenis burung yang mendiami Hutan Cagar Alam Fakfak.

"Karena itu saya merasa senang dengan adanya kelompok pengamat burung ini, mereka sudah membuat buku tentang jenis burung di hutan adat kami. Saya berharap dari buku ini, masyarakat dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian burung dan budaya yang menyertainya,” kata Fredy.