Populasi Tuntong Laut Pulih dalam Ancaman Perubahan Habitat di Muara Sungai Tamiang

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 15 Oktober 2024 | 13:00 WIB
Tuntong laut yang sedang berjemur di dahan pohon kawasan Muara Sungai Tamiang, Aceh Tamiang. Satwa itu terlihat memiliki takik di keping kedua dan ketiga (dari keping supracaudal) sisi kiri atas, yang menunjukkan hasil pelepasliaran. (Yayasan SatuCita Lestari Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—“Cintailah tuntong laut seperti Anda mencintai Indonesia karena dia adalah kura-kura yang sangat Indonesia,” demikian pesan Joko Guntoro yang pernah ia sampaikan kepada National Geographic Indonesia beberapa tahun silam. “Sangat unik, warna dasarnya merah dan putih seperti warna bendera Indonesia.”

Joko merupakan pemimpin peneliti dari Yayasan SatuCita Lestari Indonesia. Ia mengatakan bahwa pada musim kawin, pejantan tuntong laut (Batagur borneoensis) berubah menjadi putih dengan tiga strip garis hitam di karapasnya. Kepala pun berubah total menjadi putih dan matanya dilingkari garis hitam, hidungnya berwarna oranye kemerahaan, mulutnya bak bergincu merah. Lantaran wajahnya menyerupai badut, satwa ini juga kerap dijuluki kura-kura badut. 

Beberapa hari lalu, Joko mengabarkan kembali tentang kabar si kura-kura badut itu. Spesies yang terancam punah tampaknya telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan di kawasan Sungai Tamiang, Aceh Tamiang.

Tuntong laut merupakan salah satu spesies kura-kura air tawar dan darat dari 29 spesies kura-kura yang ada di Indonesia. Keluarga tuntong memiliki dua spesies, tuntong laut dan tuntong sungai. Warnanya secara dominan warna cokelat muda. Keduanya pun memiliki habitat yang sama, yaitu hutan mangrove. Namun, tempat bertelur mereka berbeda. Tuntong sungai, saat musim bertelur bergerak ke tepian berpasir di hulu sungai. Sedangkan tuntong laut memiliki tempat bertelur sama dengan penyu, yaitu pantai pasir di laut.

Tuntong Laut remaja yang terlihat memiliki takik di keping ketiga (dari nuchal) sisi kanan bawah sedang berjemur di batang pohon di sisi sungai. (Yayasan SatuCita Lestari Indonesia)

Lebih dari satu dekade, yayasan itu telah memberikan mencurahkan perhatiannya dalam program konservasi. Pesisir Ujung Tamiang termasuk dalam kawasan wisata perairan atau wisata alam dalam tata ruang Kabupaten Aceh Tamiang. Para pelestari di yayasan itu mengajukan semacam peraturan perlindungan spesies tuntong laut agar terlindungi secara lokal. Harapannya, spesies itu dapat dilestarikan dengan sempurna.

Pemantauan YSLI bersama BKSDA Aceh Resort Langsa pada Juni 2024 mengungkapkan bahwa dari total 44 individu beluku yang berhasil teramati saat berjemur di ranting dan dahan di pinggiran sungai, sebanyak 28 individu berhasil didokumentasikan melalui foto.

Dari jumlah dalam foto tersebut, tim mengidentifikasi sebanyak 24 individu masih memiliki takik  di sisi tepi tempurung. Walaupun tim tidak berhasil menemukan tanda takik tersebut pada sisi kiri-kanan pada tempurungnya, takik pada satu sisi tempurung dapat menjadi indikasi bahwa individu tersebut adalah hasil pelepasliaran.

Apabila kita membandingkan jumlah individu yang teridentifkasi selama survei pemantauan dengan jumlah seluruh individu yang dilepasliarkan hingga April 2024, kita akan menemukan tingkat kesintasan pascapelepasliaran sebesar 0,75 persen.

Meskipun angkanya masih rendah, survei telah menunjukkan struktur populasi liar yang cukup baik. Alasannya, temuan itu mencakup setiap kategori usia, yaitu anakan, remaja, hingga indukan.

Sejak 2012 hingga 2024, kedua lembaga itu bersama masyarakat telah melepasliarkan lebih dari 3.200 anakan ke habitat alami mereka di Sungai Tamiang dan anak sungainya. Seluruh individu anakan yang dilepasliarkan diberi tanda berupa takik dengan menggunakan sistem penandaan 1-2-4-7. 

Baca Juga: Sebelum Manusia, Kura-Kura Raksasa Menghuni Pulau di Samudera Hindia