Unicorn, Hewan Bertanduk 'Mandraguna' dalam Mitologi Barat, Bisa Jadi Penawar Racun?

By Sysilia Tanhati, Kamis, 17 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Banyak dokumentasi tentang makhluk mitos unicorn. Termasuk catatan mengenai tanduknya yang memiliki banyak manfaat ajaib. (Didier Descouens)

Unicorn sering kali secara simbolis dilambangkan oleh sungai, danau, mata air, dan air mancur. Konon unicorn membuat hewan dan orang lain menunggu mereka menyelesaikan pekerjaan pemurnian ajaibnya sebelum mata air tersebut digunakan.

Kekuatan unicorn untuk membersihkan air dijelaskan secara rinci dalam interpretasi Physiologus abad ke-14.

Berlatar di sebuah danau besar tempat hewan berkumpul untuk minum, seekor ular meracuni air. Namun, seekor unicorn membuat tanda salib dengan tanduknya. Alhasil racunnya menjadi tidak berbahaya dan hewan-hewan dapat minum dengan aman.

Keajaiban pengobatan tanduk unicorn

Seiring berjalannya waktu, tanduk unicorn dianggap memiliki khasiat penyembuhan yang kuat sebagai penawar racun virus. Hal ini menjadikannya sebagai salah satu pengobatan termahal selama Renaisans.

Dengan demikian, tanduk unicorn digunakan secara luas di istana kerajaan. Dalam buku The Lore of the Unicorn, Odell Shepard menginformasikan bahwa tanduk unicorn dikenal sebagai alicorn di Abad Pertengahan.

Dianggap sebagai salah satu aset spiritual paling berharga yang dapat dimiliki seorang raja, alicorn dapat dibeli di toko obat. Tanduk unicorn juga dipajang di lemari barang-barang antik. Para alkemis yang bekerja untuk keluarga kerajaan dan bangsawan menggunakan alicorn dalam produksi obat-obatan tanaman bermuatan super.

Tanduk unicorn paling sering diinfus dan ditelan untuk melawan gejala rubella, campak, demam, dan nyeri. Para biarawan Paris memberikannya kepada para penderita kusta untuk mempercepat penyembuhan luka.

“Unicorn juga diresepkan kepada para bangsawan untuk melawan wabah dan menetralkan racun kalajengking atau ular berbisa,” tambah Cowie.

Mungkin kekayaan kecil yang dibayarkan para bangsawan untuk benda-benda ini yang memicu efek plasebo mereka menjadi berlebihan. Efek tersebut menyebabkan beberapa kasus penyembuhan yang dilaporkan.

Pada abad ke-12, tulisan-tulisan kepala biara Hildegard dari Bingen tentang pengobatan dan sains merekomendasikan salep anti kusta yang terbuat dari foie de licorne dan kuning telur.

Baca Juga: Selidik Clytemnestra, Pahlawan atau Penjahat dalam Mitologi Yunani?