Saat ini 76 persen petani Indonesia menggunakan benih hasil sendiri yang kualitasnya belum tentu bagus sehingga berisiko mengalami penurunan produksi atau gagal panen. Petani juga mengeluhkan minimnya penyuluhan yang dilakukan pemerintah selama sepuluh tahun terakhir (45,1 persen). Tak hanya itu, ada 46,4 persen petani yang sama sekali tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan oleh perangkat level desa, kota/kabupaten, hingga dinas terkait.
Persoalan harga yang berkeadilan juga masih membayangi petani Indonesia selama bertahun-tahun. Survei tahun 2024 menunjukkan 45,4 persen petani mendapatkan harga gabah dari pemerintah yang tidak menguntungkan sama sekali. Alhasil, selama ini apapun program pemerintah ternyata tidak berhasil meningkatkan pendapatan petani. Partisipasi petani dalam perumusan kebijakan harga juga belum maksimal, hanya 36,2 persen yang dilibatkan.
“Dari banyaknya persoalan yang dihadapi petani, salah satu penyebab mendasarnya adalah kegagalan pemerintah menerjemahkan dan mewujudkan cita-cita kedaulatan pangan melalui berbagai kebijakan dan programnya. Dengan berpegang pada konsep dan paradigma kedaulatan pangan yang berkembang saat ini, kebijakan dan program pemerintah seperti tidak menjawab persoalan atau bahkan salah arah,” tegas Kepala Tani dan Nelayan Center (TNC), Prof. Hermanu Triwidodo, seperti dikutip dari keterangan tertulis LaporIklim. Kondisi tahun 2024 ternyata lebih buruk dari tahun 2018. Survei tahun 2018 menunjukkan petani yang mendapat harga rendah hanya 22 persen, tetapi melejit hingga dua kali lipat pada enam tahun berikutnya.
Hal serupa juga terjadi pada pelibatan petani yang makin rendah, di mana 28 persen petani yang mengeluhkan tidak diajak dalam perumusan kebijakan harga pada 2018. Sialnya, angka ini justru naik lagi hingga mencapai 53,3 persen pada tahun 2024.
Aspek pangan berkelanjutan menggambarkan daya resiliensi petani dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Hasil Survei Persepsi Petani 2024 menunjukkan bahwa 85,2 persen petani mengonsumsi pangan yang dihasilkan sendiri atau dari lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Kemampuan petani untuk mencukupi kebutuhan pangan harian mereka adalah gambaran kemandirian, sekaligus perjuangan hidup.
Banyak dari petani di Indonesia yang masuk dalam kategori keluarga miskin. Karenanya, ada keterbatasan akses terhadap pangan yang lebih beragam. Petani memilih untuk hidup lebih sederhana dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Sebanyak 71,4 persen petani juga mengatakan bahwa saat ini lebih mudah mendapatkan pangan lokal.
Saat ini, tantangan petani di Indonesia semakin pelik dengan dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh mereka. Suhu rata-rata Bumi terus meningkat, sehingga merusak kesimbangan cuaca dan iklim.
Survei Persepsi Petani 2024 mengungkap bahwa 98,7 persen petani mengakui bahwa saat ini sedang terjadi perubahan iklim. Tiga kejadian perubahan iklim yang paling banyak mereka alami adalah musim semakin tidak menentu (71,7 persen), kekeringan (70,7 persen), dan suhu panas ekstrem di luar ruangan (58,6 persen).
Situasi yang terus memburuk berdampak besar terhadap petani. Sebanyak 77,6 persen petani mengaku hasil panen mereka turun karena perubahan iklim, kemudian 59,2 persen merasakan hama semakin merajalela, dan 51 persen mengatakan kualitas panen turun. Semua dampak tersebut berpengaruh terhadap kondisi ekonomi yang makin terpuruk (51 persen).
Di tengah himpitan kebijakan yang tidak berpihak pada petani dan perubahan iklim yang semakin parah, petani di seluruh Indonesia masih menyimpan harapan untuk masa depan mereka. Petani di kawasan Indonesia timur, yaitu Maluku, Maluku Utara, dan Papua, mengatakan bahwa sistem tata kelola pertanian perlu lebih modern dan pemerintah lebih berpihak kepada petani lokal.
Petani di kawasan Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi berharap program regenerasi petani dilakukan secara masif, serta pemerintah harus lebih sering turun ke lapangan agar lebih objektif dalam evaluasi. Adapun petani di pulau Jawa hingga kepulauan Nusa Tenggara menitipkan harapan agar harga gabah dinaikkan agar petani lebih sejahtera, kebijakan pertanian yang berpihak kepada petani lokal, serta memperbanyak program-program penguatan pangan lokal.
“Jadi bisa disimpulkan bahwa kehidupan petani dalam sepuluh tahun terakhir seperti jalan di tempat atau bahkan cenderung mundur. Kebijakan dan program yang dibuat tidak mendorong perbaikan kehidupan petani, tetapi ibarat senjata yang menekan dan menghunus petani itu sendiri. Petani ada pada pilihan sulit. Maju terhunus kebijakan, mundur ditusuk ancaman perubahan iklim,” ujar Prof. Hermanu.