Menilik Kembali Catatan Histori Gempa Bumi di Hindia Belanda

By Galih Pranata, Rabu, 30 Oktober 2024 | 12:46 WIB
Dua orang Bali berpose di depan rumah yang runtuh di Bali pasca gempa bumi Bali tahun 1917. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.grid.id—Indonesia, hari ini, kerap kali diterjang bencana alam. Seperti halnya gempa bumi, bencana ini dapat datang berkali-kali di tempat yang sama, namun dalam waktu yang berbeda. Mengkhawatirkan.

Dalam banyak catatan sejarah, bahkan sebelum menjadi Indonesia, Hindia Belanda punya potensi besar gempa bumi dan selalu mengkawatirkan. Oleh karenanya, edukasi sejarah gempa sangat diperlukan.

Mempelajari sejarah gempa "merupakan masukan yang berharga bagi peta bahaya seismik modern," tulis Stacey Martin kepada New Mandala dalam artikelnya Bridging historical archives and earthquake hazard studies in Indonesia, terbitan 22 November 2022.

Setidaknya, catatan sejarah seputar gempa di Hindia Belanda dapat membantu menentukan bagaimana bangunan dan infrastruktur penting lainnya perlu dibangun dengan aman di wilayah tertentu.

"Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk terpadat di dunia dan juga sangat aktif secara tektonik. Hal ini membuatnya sangat rentan terhadap gempa bumi yang sering terjadi," imbuh Martin.

Gempa bumi semacam itu dapat berdampak besar pada sosial ekonomi masyarakat, seperti gempa bumi nun mengerikan yang terjadi di Palu di Sulawesi pada tahun 2018.

Stacey Martin bersama dengan Phil Cummins, Aron Meltzner, melakukan riset dengan mengamati kumpulan intensitas guncangan yang dirasakan, atau intensitas makroseismik, untuk 1.200 gempa bumi di wilayah Indonesia yang mencakup empat abad dari tahun 1546 hingga 1950.

Mereka menerbitkannya dalam Bulletin of the Seismological Society of America. Dalam risetnya, mereka menelaah sumber-sumber dokumentasi primer dari periode kolonial di Hindia Belanda.

Faktanya, banyak dari katalog-katalog dokumen sejarah gempa di Hindia Belanda adalah produk sampingan dari katalog gempa bumi historis multibahasa yang disusun oleh seorang geolog Jerman, Arthur Wichmann.

Karyanya mencakup dua periode: sebelum 1857 dan dari 1858 hingga 1877. Namun, katalog-katalog modern ini sering kali gagal berkonsultasi dengan sumber-sumber primer yang digunakan oleh Arthur Wichmann, juga tidak menambahkan informasi baru dari sumber-sumber primer.

Materi dokumenter yang diteliti oleh Martin dan tim mencakup materi yang tersedia dari Arthur Wichmann, seperti jurnal-jurnal kolonial Belanda dan laporan resmi pengamatan kerusakan pasca-gempa bumi.

Baca Juga: Otomobil Elit Jawa: Tatkala Mobil Pertama Muncul di Hindia Belanda

Informasi tentang gempa bumi dari sumber-sumber tersebut sangat berkurang selama Perang Dunia II, ketika Indonesia diduduki oleh Jepang. Namun, kami dapat mengisi kesenjangan ini dengan mencari arsip surat kabar lokal Indonesia dari periode ini.

Pada beberapa pembacaan terhadap sumber kolonial, ada beberapa temuan ekstrem seperti gempa bumi yang terjadi di Ambon pada tahun 1898. Gempa mengerikan yang melemparkan orang beberapa meter dan bahkan menggeser meriam-meriam yang berat.

Namun, perlu diinsafi bahwa catatan sejarah tentang gempa bumi Hindia Belanda sering kali keliru. "Catatan sejarah diketahui dipengaruhi oleh geopolitik dan sosial ekonomi," terus Stacey Martin.

Mengingat bahwa bahan sumber riset diambil dari sebagian besar dalam bahasa Eropa, dan hampir seluruhnya dari Belanda, tidak mengherankan bahwa catatan tertulis terpanjang secara kronologis tentang gempa bumi yang dirasakan berasal dari daerah-daerah tempat VOC mendirikan pos-pos perdagangan.

Pos-pos itu meliputi Jawa bagian barat dan di wilayah Maluku. Pengamatan dari daerah-daerah ini meningkat setelah kendali politik beralih dari VOC ke tangan pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Ini kontras dengan catatan tertulis tentang gempa bumi yang dirasakan di daerah-daerah yang dikenal sangat aktif secara seismik, seperti Papua yang berada di luar lingkup perhatian Belanda hingga awal abad ke-20.

Dari penyusuran data, Martin dan tim juga mengungkap bukti tsunami yang tidak bertanggal di wilayah Teluk Palu pada tahun 1800-an. Temuan yang sangat tidak terduga adalah penemuan likuifaksi parah di sawah dekat Batukarang di Sumatra pada tahun 1936.

Peristiwa-peristiwa kecil yang hanya diketahui dari catatan sejarah sering kali dapat disembunyikan, tergantung pada lokasi zona sumbernya atau ditimpa oleh sinyal iklim yang lebih besar yang juga tersimpan dalam mikroatol karang.

Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan pada katalog historis gempa bumi Hindia Belanda untuk Indonesia yang memanfaatkan sumber-sumber non-Eropa, baik lokal maupun regional.

Seismik modern akan sangat terbantu dengan adanya catatan yang baik dan perekaman akurat dari histori gempa. Martin dan tim berharap agar penelitian historis terhadap gempa bumi di Hindia terus ditingkatkan untuk memperkaya pandangan seismik modern Indonesia.