Nationalgeographic.co.id—Musim panas 2024 tercatat sebagai musim panas paling panas di Jepang. Hal ini menyebabkan penundaan turunnya salju di Gunung Fuji.
Pada tahun 1831, seniman Jepang Katsushika Hokusai membuat karya The Great Wave of Kanagawa yang ikonik. Dalam karyanya itu, tampak gambar Gunung Fuji yang tertutup salju di latar belakangnya. Karena gambar itu, Gunung Fuji terus diingat sebagai gunung yang tertutup salju.
Namun puncak ikonik itu tetap tandus hingga Selasa, 29 Oktober 2024. Periode ini adalah waktu terlama Gunung Fuji tidak bersalju sejak pencatatan para ilmuwan dimulai 130 tahun yang lalu.
Tutup salju di Gunung Fuji mulai terbentuk rata-rata sekitar tanggal 2 Oktober. Namun di tahun 2024, suhu yang lebih hangat telah membuat gunung berapi itu tidak bersalju. “Bahkan saat bulan November sudah dekat,” tulis Alexa Robles-Gil di laman Smithsonian Magazine. Tahun 2023, lapisan salju mulai terbentuk pada tanggal 5 Oktober.
“Suhu tinggi musim panas tahun 2024 ini. Suhu tinggi ini berlanjut hingga September, menghalangi udara dingin,” kata Yutaka Katsuta, seorang ahli prakiraan cuaca di Kantor Meteorologi Lokal Kofu Jepang.
Kantor Meteorologi Lokal Kofu telah mencatat hujan salju pertama di Gunung Fuji setiap tahun sejak didirikan pada tahun 1894. Gunung berapi—dengan puncak setinggi 3.776 mdpl—dianggap sebagai salah satu dari tiga gunung suci di Jepang. Gunung Fuji juga merupakan situs ziarah yang penting.
Setelah musim panas yang luar biasa panas di Jepang, suhu hangat yang bertahan lama telah memengaruhi hujan salju, kata Shinichi Yanagi. Yanagi adalah seorang petugas meteorologi di kantor Kofu.
Jepang mengalami musim panas terpanasnya untuk tahun kedua berturut-turut pada tahun 2024, menurut Japan Times. Dan suhu yang lebih hangat dari biasanya ini juga bertahan hingga musim gugur. Sekitar 74 kota di Jepang mencatat suhu lebih tinggi dari 28,8 derajat Celsius pada awal Oktober 2024.
Kurangnya salju Gunung Fuji adalah salah satu indikator yang menunjukkan dampak musim dingin yang lebih hangat pada salju dan air. Studi menunjukkan bahwa pemanasan yang disebabkan oleh manusia menjadi penyebab kurangnya salju di Belahan Bumi Utara selama empat dekade terakhir.
“Jika emisi gas rumah kaca global tidak dikurangi, sebagian besar dunia akan mengalami musim dingin tanpa salju pada tahun 2100,” Andrew Schwartz, seorang ilmuwan atmosfer di Laboratorium Salju Central Sierra Universitas California Berkeley.
Di Jepang, Gunung Fuji biasanya tertutup salju hampir sepanjang tahun hingga musim panas. Di musim panas, gunung yang tidak bersalju ini menarik lebih dari 220.000 pendaki yang ingin mendaki lereng ikoniknya. Selain tidak turun salju, masuknya wisatawan asing yang ingin mendaki gunung tersebut telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pejabat Jepang.
“Setelah pembatasan Covid dicabut, kami mulai melihat lebih banyak orang,” kata Toshiaki Kasai, seorang pejabat pemerintah setempat.
Baca Juga: Bukan Everest, Inilah Gunung Paling Mematikan di Dunia bagi Para Pendaki
Dalam upaya untuk mengurangi kepadatan selama musim pendakian, Jepang memberlakukan biaya sebesar 2.000 yen Jepang (Rp205.000) bagi pendaki. Pendaki biasanya ingin mendaki rute paling populer di gunung berapi tersebut. Batas pengunjung juga ditetapkan sebesar 4.000 orang per hari.
Kantor cuaca Kofu memberi peringatan tentang tidak adanya salju di Gunung Fuji tahun 2024. Namun tekanan dari pariwisata terhadap gunung berapi tersebut tetap menjadi masalah lain bagi para pejabat. Para pendaki dilaporkan telah mendaki jalur pendakian dengan perlengkapan yang tidak tepat, yang menyebabkan cedera. Mereka bahkan membuang sampah sembarangan di gunung.
“Pariwisata yang berlebihan—dan semua konsekuensinya seperti sampah, meningkatnya emisi CO2, dan pendaki ceroboh—adalah masalah terbesar Gunung Fuji,” kata Masatake Izumi, seorang pejabat pemerintah di Prefektur Yamanashi. “Fuji-san menjerit kesakitan.”