Nationalgeographic.co.id—Kebijakan penyesuaian tarif tiket masuk Taman Nasional dengan kenaikan dari 100 hingga 400 persen sesuai PP No. 36 Tahun 2024 telah memicu beragam tanggapan.
Peraturan ini, yang diundangkan oleh Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, pada tanggal 30 September 2024, efektif berlaku sejak 30 Oktober 2024.
Ada yang menganggap kenaikan ini baik untuk kelestarian taman nasional. Namun, tidak sedikit yang menganggap kenaikan ini akan membuat kunjungan ke taman nasional hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki banyak uang.
Untuk mengetahui jawabannya, kita bisa melihat artikel "More Expensive National Parks May Threaten Access to Nature" yang ditulis oleh Sarah Gibbens di laman National Geographic.
Dalam artikel tersebut, Gibbens mengambil contoh adanya keinginan Layanan Taman Nasional Amerika Serikat (NPS) untuk menaikan tarif masuk yang signifikan bagi 17 taman nasional paling populer di negara tersebut.
Jika rencana ini disetujui, pengunjung akan dihadapkan pada biaya yang jauh lebih mahal untuk menikmati keindahan alam yang ditawarkan oleh taman-taman nasional ikonik seperti Yellowstone, Yosemite, dan Grand Canyon.
Melalui rencana tersebut, NPS bakal menaikkan tarif masuk mingguan untuk satu kendaraan pribadi dari kisaran AS$25 menjadi angka yang jauh lebih tinggi, berkisar antara AS$30 hingga AS$70.
Kenaikan tarif yang hampir dua kali lipat ini juga berlaku untuk sepeda motor, dengan biaya yang ditetapkan sebesar AS$50, serta pengunjung yang memilih bersepeda atau berjalan kaki, yang akan dikenakan biaya sebesar AS$30 per orang.
NPS memperkirakan bahwa kenaikan tarif masuk ini akan menghasilkan tambahan pendapatan sebesar AS$70 juta per tahun. Dana tambahan tersebut rencananya akan dialokasikan untuk memperbaiki dan merestorasi infrastruktur taman nasional yang telah menua dan membutuhkan perawatan intensif.
Menteri Dalam Negeri AS kala itu, Ryan Zinke, dalam sebuah pernyataan resmi, menekankan pentingnya menjaga kelestarian taman-taman nasional sebagai aset berharga bagi generasi mendatang.
"Infrastruktur taman nasional kami sudah tua dan membutuhkan renovasi dan restorasi," ujar Zinke seperti dipaparkan ulang oleh Gibbens.
Baca Juga: Semangat Warga Wakatobi Merintis Ekowisata Berbasis Tradisi dan Ekologi
"Kenaikan biaya yang ditargetkan di beberapa taman yang paling banyak dikunjungi akan membantu memastikan bahwa taman-taman tersebut dilindungi dan dilestarikan selamanya serta pengunjung menikmati pengalaman kelas dunia yang mencerminkan tujuan wisata menakjubkan yang mereka kunjungi."
Namun, rencana kenaikan tarif ini tidak lepas dari kontroversi dan menimbulkan kekhawatiran akan dampak sosial-ekonomis yang signifikan.
Beberapa pihak, terutama kelompok advokasi lingkungan dan masyarakat berpenghasilan rendah, menyuarakan keprihatinan bahwa kenaikan biaya akan membatasi akses masyarakat terhadap taman nasional.
Gabe Vasquez, koordinator New Mexico untuk Latino Outdoors, sebuah organisasi yang mendorong partisipasi komunitas Latino dalam kegiatan rekreasi di alam bebas, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kenaikan biaya akan menjadi penghalang bagi banyak keluarga, terutama keluarga kulit berwarna.
Organisasinya sering kali membawa kelompok besar untuk melakukan kegiatan hiking dan eksplorasi alam di taman nasional, namun kenaikan biaya yang signifikan akan membuat kegiatan tersebut menjadi sangat mahal.
"Bagi keluarga yang ingin pergi ke taman, penghalang biaya tersebut bukan hanya persepsi, dan itu secara tidak proporsional mempengaruhi keluarga kulit berwarna," ujar Vasquez.
"Orang tidak mampu membayar AS$25 setiap kali mereka ingin pergi hiking. Ini mengikis definisi publik ini."
Ancaman bagi inklusivitas
Gibbens menggambarkan rencana kenaikan tarif masuk taman nasional Amerika Serikat yang signifikan telah memicu kekhawatiran akan semakin berkurangnya akses bagi kelompok minoritas, terutama komunitas kulit berwarna.
Padahal, selama bertahun-tahun, upaya telah dilakukan untuk meningkatkan representasi kelompok-kelompok ini di area konservasi yang ikonik tersebut.
Secara historis, taman nasional seringkali dianggap sebagai ruang eksklusif yang didominasi oleh populasi kulit putih. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari hambatan finansial untuk mencapai dan memasuki taman, hingga kurangnya representasi dan inklusivitas yang membuat kelompok minoritas merasa tidak diterima.
Baca Juga: Masyarakat Adat Garda Terdepan Kelestarian Taman Nasional Wakatobi
Sebenarnya, untuk mengatasi ketidakseimbangan ini, NPS telah meluncurkan program Urban Agenda yang bertujuan untuk menarik lebih banyak pengunjung dari daerah perkotaan, terutama dari komunitas yang kurang terwakili. Namun, rencana kenaikan tarif yang signifikan ini dikhawatirkan akan menghambat upaya tersebut.
"Kami memiliki masalah keragaman yang nyata," ungkap Michael Reynolds, mantan direktur asosiasi untuk tenaga kerja dan inklusi NPS, speerti dikutip oleh Gibbens. Sentimen ini diperkuat oleh berbagai kelompok masyarakat yang telah berupaya keras untuk meningkatkan aksesibilitas taman nasional bagi semua kalangan.
Teresa Baker, yang aktif dalam organisasi African American Nature and Parks Experience, merasa sangat prihatin dengan rencana kenaikan tarif ini. Organisasinya telah bekerja keras untuk membawa komunitas kulit berwarna ke alam bebas, namun kenaikan biaya yang signifikan akan menjadi penghalang besar.
"Ini akan menjadi hambatan lain bagi kami untuk diperjuangkan," kata Baker, seperti dituliskan oleh Gibbens. Ia juga menyoroti kondisi infrastruktur taman nasional yang membutuhkan perbaikan, namun kenaikan tarif menurutnya bukanlah solusi yang tepat.
Robert Hanna, cicit dari konservasionis terkenal John Muir, juga menyuarakan keprihatinannya. Ia percaya bahwa taman nasional seharusnya menjadi tempat yang dapat diakses oleh semua orang tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi.
"Saya benar-benar percaya bahwa tanggung jawab negara kami adalah memastikan bahwa taman kami dapat diakses oleh siapa saja kapan saja," tegas Hanna, dikutip oleh Gibbens.
NPS membenarkan bahwa kenaikan tarif didasarkan pada studi historis tentang biaya masuk taman nasional. Namun, para kritikus berpendapat bahwa argumen historis tersebut tidak relevan dengan konteks sosial dan ekonomi saat ini, di mana ketidaksetaraan masih menjadi masalah yang serius.
Jeremy Barnum, juru bicara NPS, berusaha meminimalkan dampak kenaikan tarif dengan mencatat bahwa hanya sebagian kecil dari total taman nasional yang akan terkena dampak, dan bahwa biaya perjalanan dan akomodasi biasanya lebih besar dibandingkan biaya masuk.
Dampak ekonomi dan sosial
Di sisi lain, Hanna mengingatkan kita akan potensi dampak negatif dari penurunan jumlah pengunjung akibat kenaikan biaya. Kota-kota kecil di sekitar taman nasional sangat bergantung pada sektor pariwisata. Pendapatan dari hotel, restoran, dan bisnis lokal lainnya sangat dipengaruhi oleh jumlah wisatawan yang datang.
Kota-kota kecil di sekitar taman nasional merasakan limpahan rezeki berkat kunjungan wisatawan. Sebuah laporan dari NPS mengungkapkan fakta menarik: pada tahun 2016 saja, para pengunjung taman menyumbangkan sekitar AS$18,4 miliar ke ekonomi lokal di sekitar kawasan taman.
Lebih dari separuh jumlah ini dihabiskan untuk menginap di hotel dan mencicipi kuliner di restoran. Angka ini bahkan meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2013 yang hanya mencapai AS$14 miliar.
Namun, di balik keindahan alam yang ditawarkan, taman nasional juga menghadapi tantangan serius: keterbatasan dana. Pada Mei 2017, pemerintah mengajukan anggaran sebesar AS$2,55 miliar untuk tahun fiskal 2018
Zinke dalam pernyataannya menekankan urgensi untuk mengatasi masalah pemeliharaan yang menumpuk di berbagai taman nasional.
Para pendukung proposal anggaran ini optimis usai mengambil contoh kenaikan biaya masuk pada tahun 2015 yang tidak akan mengurangi jumlah pengunjung. Bahkan, NPS mencatat rekor kunjungan tertinggi pada tahun 2016.
Alan Spears, direktur sumber daya budaya di National Parks Conservation Association, memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Ia tidak terlalu khawatir dengan dampak kenaikan biaya masuk terhadap taman-taman seperti Grand Tetons yang memang sudah menjadi tujuan wisata premium.
Namun, ia mengkhawatirkan dampaknya terhadap taman-taman yang lebih mudah dijangkau.
"Kami khawatir kenaikan biaya akan mengurangi jumlah pengunjung," ujar Spears seperti dikutip oleh Gibbens.
Meskipun tidak setuju dengan kenaikan biaya masuk sebagai solusi jangka panjang, Spears menyarankan agar masyarakat yang memiliki keterbatasan finansial dapat mengunjungi taman-taman lokal atau taman negara bagian lainnya yang masih bebas biaya masuk.