Nationalgeographic.co.id—Peran masyarakat adat begitu penting dalam pelestarian keanekaragaman hayati di Taman Nasional Wakatobi. Sejatinya mereka memiliki etika ekologi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut etika ekologi, setiap individu harus mempertimbangkan nilai moral dalam setiap tingkah laku mereka terhadap makhluk lain. Semua makhluk merupakan bagian dari warga dan dianggap sebagai elemen fungsional kehidupan.
Masyarakat adat di wilayah konservasi ini memiliki nilai-nilai tradisional dalam melestarikan sumber daya alam. Mereka menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, pengaturan ruang pemanfaatan, dan melindungi daerah tertentu melalui larang ambil dalam jangka waktu tertentu.
Masyarakat adat juga memiliki pengetahuan yang sangat penting dalam menjaga keanekaragaman hayati. Mereka telah membantu dalam pengawasan terkait pelanggaran lingkungan. Kita pun harus banyak belajar kepada masyarakat adat yang telah menjadi garda terdepan dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Kekayaan alam itu seharusnya menjadi sumber kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan.
Annas Radin Syarif, Deputi Sekjen AMAN untuk Ekonomi dan Dukungan Komunitas dalam sebuah acara bersama jurnalis di Jakarta pada Agustus silam, mengungkapkan bahwa masyarakat adat memiliki alasan yang kuat untuk menjadi penjaga utama dari wilayah konservasi. Mereka memiliki kewajiban adat untuk melindungi wilayah konservasi. Mereka memiliki fungsi-fungsi ruang adat dan sistem pengetahuan yang memandu mereka mengelola wilayah secara berkelanjutan. "Selain itu, ada hukum adat berupa sanksi yang membuat mereka sangat menjaga wilayah konservasi," ujar Annas.
Barata Kahedupa, pemerintahan masyarakat adat yang berpusat di Pulau Kaledupa, Kepulauan Wakatobi. Lembaga adat ini memiliki wilayah budaya dari Pulau Wangi-wangi, Pulau Tomia, sampai Pulau Binongko. Setelah vakum selama beberapa dekade, pada 2014 pemerintah Kabupaten Wakatobi merevitalisasi Lembaga Adat Barata Kahedupa sebagai mitra pemerintah dalam pelestarian budaya, adat istiadat, agama, dan sejarah. Dua tahun kemudian, sistem pemerintahan adatnya kembali dihidupkan.
Pun, peran Barata Kahedupa dalam upaya menjaga kelestarian sumber daya alam telah diperkuat oleh Peraturan Bupati Wakatobi No. 44 Tahun 2018 tentang perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut berbasis masyarakat hukum adat Barata Kahedupa dalam wilayah Pulau Kaledupa di Kabupaten Wakatobi.
Tak jauh dari pesisirnya, rumah adat Kamali masih tampak menyala-nyala dalam suasana ulang tahun ke-764 pemerintahan adat Barata Kahedupa. Dahulu rumah adat ini merupakan istana dan kediaman raja sekaligus tempat mengatur jalannya pemerintahan, namun kini berubah peran sebagai tempat ritual adat dan elemen wisata.
Lima lelaki Tamburu, kesatuan pasukan perang berbusana adat, menyambut tetamu dengan derap tambur dan gerakan tombak nan rancak pada 18 September silam. Mereka membuka acara sosialisasi prosedur operasi standar (SOP) tentang perlindungan dan pengamanan bersama masyarakat kawasan Taman Nasional Wakatobi.
Acara digelar oleh Balai Taman Nasional Wakatobi, yang didukung Yayasan Konservasi Alam Nusantara. Tujuan sosialisasi ini demi terwujudnya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan berbasis masyarakat. Upaya ini dicapai melalui penetapan wilayah perlindungan, prosedur pelaksanaan, dan para pemangku kepentingan dalam kegiatan perlindungan.
“Pengelolaan sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi harus mampu memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat sekitar dengan tetap mengedepankan aspek keberlanjutan ekologi dan ekosistem dengan melibatkan masyarakat," ungkap Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi Darman dalam rilis yang diterbitkan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Baca Juga: Lewat Buku dan Alam, Anak-Anak Wakatobi Belajar Pelestarian Mangrove
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR