Peluang Besar Bagi Indonesia Itu Bernama 'Perdagangan Berkelanjutan'

By Ade S, Selasa, 5 November 2024 | 12:03 WIB
Lokasi Hutan Ranjuri di Kabupaten Sigi tidak jauh dari ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, Palu. Indonesia punya potensi besar jadi pemimpin perdagangan hijau global. Eksplorasi peluang emas di sektor perdagangan berkelanjutan. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Visi Indonesia untuk menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045 merupakan ambisi yang patut diapresiasi.

Dalam mencapai tujuan ini, perdagangan dan investasi menjadi instrumen kunci yang diandalkan oleh para pengambil kebijakan. Namun, tantangan global seperti ketegangan geopolitik dan perubahan iklim turut mewarnai lanskap ekonomi Indonesia.

Sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia telah lama dikenal sebagai eksportir komoditas lunak terkemuka seperti minyak sawit, karet, dan kertas.

Komoditas-komoditas ini, di satu sisi, menjadi tulang punggung perekonomian dan menyerap tenaga kerja, terutama bagi petani kecil. Di sisi lain, produksi komoditas ini seringkali dikaitkan dengan praktik-praktik yang tidak berkelanjutan, seperti deforestasi dan peningkatan emisi gas rumah kaca akibat perubahan penggunaan lahan.

Meskipun Indonesia secara keseluruhan merupakan pengekspor bersih emisi yang tertanam dalam perdagangan, seperti diungkap oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), negara ini juga menjadi tujuan investasi utama di kawasan ASEAN.

Potensi investasi ini dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang hijau dan berkelanjutan. Dengan kata lain, menurut Kimberley Botwright di laman World Economic Forum, "Negara ini dapat menargetkan kegiatan yang sekaligus mengurangi karbonisasi ekspor yang ada dan membangun posisi dalam rantai nilai rendah karbon baru."

Sektor baja, misalnya, telah mengalami pertumbuhan yang signifikan di Indonesia dan kini menjadi salah satu komoditas ekspor utama. Kenaikan peringkat Indonesia dalam jajaran eksportir besi dan baja dunia merupakan prestasi yang membanggakan.

Namun, sejalan dengan komitmen global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai tujuan iklim, industri baja perlu melakukan transformasi besar-besaran.

Badan Energi Internasional (IEA) telah menetapkan target ambisius, yakni penurunan intensitas emisi karbon dioksida langsung rata-rata produksi baja sebesar 60% pada tahun 2050 dibandingkan dengan tingkat saat ini.

Untuk mencapai target tersebut, industri baja perlu mengadopsi teknologi dan proses produksi yang lebih bersih dan efisien. Beberapa teknologi yang menjanjikan antara lain penggunaan hidrogen, penangkapan dan penyimpanan karbon, bioenergi, elektrifikasi langsung, serta peningkatan penggunaan baja bekas.

Dengan berinvestasi dalam teknologi-teknologi ini, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi emisi karbon dari sektor baja tetapi juga meningkatkan daya saing produknya di pasar global yang semakin menuntut produk-produk yang ramah lingkungan.

Baca Juga: Perusahaan Ini Ubah Limbah Pertanian jadi Alternatif Minyak Kelapa Sawit

Perlunya peningkatan keterampilan pengukuran emisi

Dalam lanskap bisnis yang semakin kompetitif dan sadar lingkungan, perusahaan tidak hanya dituntut untuk mengurangi emisi karbon mereka sendiri, tetapi juga untuk memahami dan mengelola emisi yang dihasilkan sepanjang rantai pasok.

Faktanya, emisi rantai pasok menyumbang porsi yang sangat signifikan terhadap total emisi perusahaan, yakni rata-rata sekitar 75%.

Permintaan akan transparansi emisi ini semakin mendesak seiring dengan munculnya kebijakan-kebijakan keberlanjutan yang lebih ketat di berbagai negara.

Regulasi seperti Mekanisme Penyesuaian Karbon Perbatasan Uni Eropa (CBAM) mengharuskan perusahaan untuk menghitung jejak karbon produk mereka secara detail. Hal ini berarti perusahaan perlu memiliki data emisi yang akurat dari seluruh pemasok dalam rantai pasoknya.

Sayangnya, banyak perusahaan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, belum memiliki kemampuan yang memadai untuk menghitung jejak karbon perusahaan atau produk mereka. Keterbatasan dalam hal pengetahuan dan keterampilan akuntansi gas rumah kaca (GRK) menjadi kendala utama.

"Menyadari kesenjangan ini, sekelompok pemangku kepentingan sektor swasta dan masyarakat sipil di Indonesia telah bekerja pada alat baru yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas bisnis," jelas Botwright. 

Dari sinilah lahir ECOVISEA. Didukung oleh East Ventures, sebuah perusahaan modal ventura terkemuka di Asia Tenggara, dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia), ECOVISEA hadir sebagai kalkulator emisi GRK secara daring gratis yang mudah digunakan.

Dengan dukungan dari World Resources Institute (WRI) Indonesia, ECOVISEA dikembangkan berdasarkan standar internasional yang berlaku dan dilengkapi dengan program pelatihan untuk meningkatkan kapasitas penggunanya.

Kemampuan untuk mengukur dan melaporkan emisi secara akurat akan menjadi faktor kunci dalam persaingan bisnis di masa depan. Perusahaan yang mampu menunjukkan komitmen mereka terhadap keberlanjutan dan transparansi akan lebih disukai oleh konsumen, investor, dan mitra bisnis.

Namun, membangun kapasitas dalam bidang pengukuran emisi bukanlah hal yang mudah, terutama bagi bisnis kecil dan menengah. Oleh karena itu, diperlukan dukungan yang lebih kuat dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil.

Baca Juga: Mungkinkah Konsep Minyak Sawit Berkelanjutan Benar-benar Bisa Terwujud?

Pembentukan ekosistem yang kondusif, seperti penyediaan standar dan regulasi yang jelas, serta program pelatihan yang berkelanjutan, akan sangat membantu perusahaan dalam upaya dekarbonisasi.

Saatnya fokus di mata pencaharian berkelanjutan

Demikian pula dengan sektor komoditas lunak yang telah menjadi pilar penting dalam perekonomian Indonesia. Di balik kontribusinya yang signifikan, sektor ini juga menjadi sorotan dalam konteks perubahan iklim global.

Ketergantungan Indonesia pada komoditas seperti minyak sawit, karet, dan pulp membuat negara ini sangat rentan terhadap regulasi lingkungan internasional yang semakin ketat.

Salah satu regulasi yang paling berdampak adalah Peraturan Uni Eropa tentang produk bebas deforestasi (EUDR). Aturan ini mewajibkan perusahaan yang memasarkan produk terkait komoditas tertentu ke pasar Uni Eropa untuk memastikan bahwa produk tersebut tidak terkait dengan deforestasi atau degradasi hutan.

Meskipun pelaksanaannya ditunda hingga akhir tahun 2025, EUDR akan membawa perubahan besar dalam rantai pasok komoditas global, termasuk di Indonesia.

"Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan, Indonesia adalah yang paling terpapar EUDR baik dalam hal nilai maupun ekonomi," ungkap Botwright.

Perubahan penggunaan lahan dan deforestasi merupakan kontributor utama emisi gas rumah kaca di Indonesia, menyumbang sekitar 50,13% dari total emisi.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah langkah, seperti meluncurkan Dasbor Nasional untuk Data dan Informasi Komoditas Berkelanjutan.

Dasbor ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam rantai pasok komoditas, serta memfasilitasi pelacakan komoditas hingga ke tingkat lahan.

Namun, upaya pemerintah Indonesia tidak akan cukup tanpa dukungan dari berbagai pihak. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, dan lembaga internasional sangat diperlukan untuk membangun sistem pelacakan dan verifikasi yang efektif.

Baca Juga: 11 Perusahaan Travel Paling Berkelanjutan, Buat Liburan Lebih Bermakna

Selain itu, pemanfaatan teknologi digital, seperti kecerdasan buatan dan citra satelit, juga dapat menjadi solusi inovatif untuk memantau perubahan tutupan lahan dan mencegah deforestasi.

Meskipun EUDR dan regulasi lingkungan lainnya dapat menimbulkan tantangan bagi sektor komoditas Indonesia, pada saat yang sama juga membuka peluang baru untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Perusahaan yang mampu memenuhi standar keberlanjutan yang semakin tinggi akan memiliki akses ke pasar yang lebih luas dan mendapatkan kepercayaan konsumen.

"Itu akan membutuhkan banyak kolaborasi, lintas pemain domestik dan internasional," tegas Botwright.

Teknologi baru juga dapat membantu. Misalnya, perusahaan sosial Enveritas menggabungkan citra satelit dan kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi kejadian deforestasi, mengatasinya, dan memberikan jaminan untuk ekspor berkelanjutan.

Peluang besar bagi Indonesia

Dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim sembari tetap mendorong pertumbuhan ekonomi, Indonesia telah mengambil langkah signifikan dengan terlibat aktif dalam inisiatif internasional.

Salah satu inisiatif yang paling menonjol adalah Action on Climate and Trade (ACT), sebuah kolaborasi antara Forum Ekonomi Dunia, Sekretariat Organisasi Perdagangan Dunia, dan Grup Bank Dunia.

Selama enam bulan terakhir, Indonesia telah menjadi fokus utama dalam inisiatif ACT, yang bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan perdagangan dengan tujuan iklim.

Melalui berbagai forum dan platform yang disediakan oleh Forum Ekonomi Dunia, seperti  Tropical Forest Alliance, First Movers Coalition, dan Mobilizing Investment for Clean Energy in Emerging Economies initiative, Indonesia telah mendapatkan akses ke berbagai wawasan dan praktik terbaik dari negara-negara lain yang telah lebih dulu bergerak dalam bidang ini.

"Meskipun Indonesia saat ini termasuk di antara negara-negara dengan emisi terbesar di dunia, negara ini memiliki peluang untuk bekerja di seluruh rantai nilainya untuk mendorong pertumbuhan baru yang berkelanjutan, demi kepentingan Indonesia dan mitra dagangnya," pungkas Botwright.