Namun, pada masa pemerintahan pengganti Ratu Elizabeth I, James I (1603-1625), ketakutan masyarakat terhadap ilmu sihir membayangi praktik kosmetik. Pada tahun 1770, sebuah undang-undang disahkan. Berdasarkan undang-undang itu, wanita yang dianggap menggunakan riasan sebagai sarana untuk menipu pria agar mau menikah dapat diadili sebagai penyihir.
Lipstik merah: warna pemberontakan
Lipstik merah memiliki makna baru selama gerakan hak pilih perempuan tahun 1920-an, yang melambangkan perjuangan untuk hak-hak perempuan. Pengusaha kecantikan Elizabeth Arden menginspirasi wanita untuk mengenakan lipstik merah sebagai lambang keberanian. Ia membagikan lipstik kepada para pejuang hak pilih perempuan pada tahun 1912.
Selama beberapa dekade berikutnya, lipstik merah menjadi semakin populer. Menjelang Perang Dunia II, lipstik merah berevolusi dari simbol pemberontakan menjadi simbol wanita dan ketahanan patriotik.
Schaffer menulis bahwa lipstik merah adalah bagian penting dari upaya perang. Arden memproduksi warna yang cocok dengan hiasan merah terang pada seragam marinir wanita. Ruang ganti pabrik dipenuhi lipstik untuk meningkatkan moral pekerja. Hitler, tampaknya, membencinya.
Bibir merah mencolok tetap menjadi pilihan klasik setelah Perang Dunia II, karena ikon Hollywood seperti Audrey Hepburn dan Marilyn Monroe menjadikannya sebagai riasan utama. Warisannya terlihat pada selebritas masa kini seperti Taylor Swift, yang sering memakai bibir merah.
Daya tarik lipstik merah yang abadi terus memikat dan memberdayakan individu. Hal ini menegaskan kembali statusnya sebagai lambang pemberontakan dan kekuatan.
Pada tahun 2018, kampanye #SoyPicoRojo di Nicaragua menampilkan pria dan wanita mengenakan lipstik merah yang memprotes kediktatoran negara tersebut. Pada tahun 2019, ribuan wanita di Chili mengenakan lipstik merah untuk mengecam kekerasan seksual.
Semua itu membuktikan bahwa bibir merah berani tidak pernah benar-benar ketinggalan zaman.