Tidak Ada 'Rumah Makan Padang' di Padang, Bagaimana Persebarannya Bermula?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 7 November 2024 | 10:00 WIB
Rendang merupakan warisan cita rasa Luso Asia, sebutan pengaruh budaya Portugis di kawasan Asia. Namun, apakah cara memasaknya juga dipengaruhi Portugis? Adakah kuliner Portugis yang mirip rendang? (Yunaidi)

Nationalgeographic.co.id - Cita rasa kuliner masyarakat Minangkabau begitu populer karena rasanya yang memanjakan lidah. Aneka lauknya seperti rendang dan dendeng, disajikan dengan rempah-rempah tropis yang punya cita rasa khas dan diolah dengan tepat, menciptakan kenikmatan yang memesona.

Saking terkenalnya, hidangan kuliner Minangkabau justru disebut sebagai makanan padang, dengan merujuk Kota Padang sebagai salah satu asal daerahnya. Meski demikian, hidangan di rumah makan padang, sebenarnya merupakan gabungan dari beberapa jenis sajian dari seluruh Sumatra Barat—bukan Kota Padang saja.

Kota Padang sering dirujuk sebagai asal perantauan masyarakat Minangkabau sebelum akhirnya meninggalkan Sumatra. Rujukan ini membuat kata "Padang" sering dipadankan untuk menyebut orang Minangkabau yang ada di perantauan.

Hal ini pun berlaku ketika rumah makan khas Minangkabau berkembang di luar Sumatra Barat. Menu yang ada di rumah makan padang umum memenuhi etalase rumah makan di Sumatra Barat. Sehingga muncullah pendapat bahwa tidak ada rumah makan padang di Kota Padang.

Awal persebaran rumah makan padang

Laki-laki Minangkabau dikenal sebagai perantau ulung. Kebiasaan merantau ini begitu kental dalam kebudayaannya. Laki-laki perantau harus punya kebiasaan memasak sebagai cara untuk bertahan hidup. Dengan begitu, perantau Minangkabau berada di daerah yang jauh dari kampung halamannya, kebiasaan kulinernya pun ikut terbawa.

Jika Anda berkunjung ke rumah makan padang di luar Sumatra Barat, bangunannya begitu mewah. Secara otentik, rumah makan padang berawal dari penyajian yang hanya dijajakan di bawah tenda di pinggir jalan. Suasana ini kurang lebih mirip seperti tempat menyantap nasi kapau tradisional di Kota Bukittinggi.

Namun cita rasa lauk pauk dalam sajian rumah makan padang membuat banyak minat, terutama kalangan kolonialis Belanda di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Konon, rumah makan padang sering memberikan nasi padang bungkus dengan porsi yang lebih banyak untuk masyarakat miskin. Tujuannya agar masyarakat miskin bisa makan dengan keluarganya di rumah.

Sementara itu, di rumah makan padang, saking menggunakan rempah-rempah tropis dan lauk yang mahal, harganya pun dipatok tinggi. Sebab, bagi orang Eropa, khususnya orang Belanda yang sempat bermukim di Hindia Belanda menjadi konsumen utama rumah makan ini.

Nasi, rendang, dan lauk lainnya dalam nampan untuk hidangan makan bajamba di Nagari Sungai Beringin, Kabupaten Limapuluh Kota. Makan bajamba adalah tradisi makan bersama di Minangkabau yang masih bertahan. Biasanya dilakukan sewaktu perhelatan prosesi adat. Beberapa orang duduk mengelilingi nampan k (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Sentimen antikolonialis ini sering mengiringi alasan mengapa sampai saat ini porsi nasi padang bungkusan lebih banyak daripada makan di tempat. Bagaimanapun, sajian kuliner rumah makan padang masih diminati banyak orang karena keunikan lauk dan penyajiannya.

Baca Juga: Berkah Ketahanan Pangan dari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang