Sains Terbaru Ragukan Bangsa Polinesia Kuno Mencapai Antarktika

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 9 November 2024 | 18:00 WIB
War Speech oleh pelukis Inggris Augustus Earle (1793-1838 M) menggambarkan peristiwa tahun 1827-1828 M di Bay of Islands, Selandia Baru dan menunjukkan waka (perahu perang Maori tradisional). Hokulea, replika modern kapal bercadik ganda yang membawa banyak orang ke wilayah timur Polinesia. Penelitian terbaru ragukan orang Polinesia kuno mencapai Antarktika. (Wikipedia / Kim Martins)

Nationalgeographic.co.id—Legenda Maori berusia 1.300 tahun mengisahkan tentang kelompok penjelajah laut Polinesia bernama Hui Te Rangiora yang berlayar ke selatan Samudra Pasifik. Bersama para kru di kapal Te Ivi o Atea, Hui Te Rangiora menemukan dunia yang disebut Te uka a-pia yang berada di selatan.

Cerita ini disampaikan masyarakat Maori kepada Stephenson Percy Smith, etnolog dan surveyor Selandia Baru pada abad ke-19. Istilah kawasan Te uka a-pia ini diartikan Smith sebagai lautan beku.

Secara harfiah, orang Maori merujuk pada gumpalan yang menyerupai bubuk dari garut endemik Polinesia yang berwarna putih. Cerita itu lantas diartikan Smith bahwa leluhur orang Polinesia pernah menjumpai kawasan putih salju—es Antarktika.

Manusia pertama yang mencatat melihat lautan dengan bongkahan es di belahan bumi selatan diperkirakan adalah James Cook dalam perjalanan keduanya pada 1772-1775. Dengan cerita tentang Hui Te Rangiora, mungkinkah masyarakat Polinesia pernah berkunjung ke Antarktika?

Meski kemungkinan cerita Hui Te Rangiora adalah nyata, namun secara arkeologis, bukti kehadiran masyarakat Polinesia ke Antarktika tidak ditemukan.

Masyarakat Polinesia memang dikenal sebagai penjelajah ulung. Pelayaran mereka mengarungi Samudra Pasifik dan menghuni pulau-pulau memang patut dikagumi. Teknologi perahu mereka sangat canggih dengan memiliki haluan dan layar, membuat mereka pun bisa tiba di Rapa Nui, pulau terpencil di Cile, Amerika Selatan.

Dugaan skeptis keberhasilan orang Polinesia tiba ke Antarktika ini diungkap dalam sebuah penelitian di jurnal Archaeology in Oceania pada 3 Oktober 2024. Makalah tersebut bertajuk "The age and position of the southern boundary of prehistoric Polynesian dispersal" memberikan bukti-bukti konkret dari kawasan selatan di Selandia Baru yang dihuni masyarakat Maori.

Penelitian yang dipimpin Atholl Anderson dari Ngai Tahu Research Centre, University of Canterbury, itu mengumpulkan bukti bahwa masyarakat Polinesia kuno pernah bermukim di sekitar Sandy Bay, Pulau Enderby.

Pulau tak berpenghuni itu berada di gugus Kepulauan Auckland, 740 kilometer di selatan Pulau Selatan, Selandia Baru. Kepulauan ini menjadi salah satu kawasan terluar menuju Antarktika setelah Motu Ihupuku (Pulau Campbell).

Pada 1998, situs Sandy Bay ditemukan Anderson. Penggalian tambahan dilanjutkan pada 2003. Ada banyak jejak manusia di masa lampau yang pernah hadir di Sandy Bay seperti bukit pasir yang terkikis dan lapisan hunian berupa tumpukan sampah kuno, serta sisa-sisa tungku perapian khas Polinesia kuno.

Penggalian kembali berlangsung di situs tersebut pada 2020. Saat itu, erosi menyebabkan pelbagai temuan arkeologis tambahan seperti tulang dan arang yang dapat dihitung penanggalan karbonnya. 

Baca Juga: Berlayar Sampai Pulau Paskah, Mungkinkah Orang Polinesia Bertemu Penduduk Asli Amerika?

"Hasil gabungan menunjukkan bahwa situs Sandy Bay kemungkinan besar pertama kali dihuni sekitar tahun 1250–1320 M, konsisten dengan usia yang diketahui untuk peristiwa kolonisasi yang sama di Selandia Baru dan pulau-pulau terpencil lainnya di Polinesia Timur," terang Janet Wilmshurst, rekan peneliti dari Manaaki Whenua—Landcare Research, dikutip dari Phys.

Pendudukan ini diperkirakan berlangsung sekitar satu abad. Jejak kependudukan seperti sampah-sampah kuno mengungkapkan bahwa masyarakat yang tinggal mulai menyebar. 

Lokasi situs arkeologis Sandy Bay di Pulau Enderby. Tiga titik ini memberikan sisa kependudukan masyarakat Polinesia kuno paling selatan dalam sejarah migrasi manusia modern. Para peneliti meragukan keberhasilan mereka berlayar sampai ke Antarktika. (Athol Anderson et al. (2024)/Archaeology in Oceania)

Sementara, tidak ada bukti gangguan pada vegetasi alami di pulau lainnya di Kepulauan Auckland, bahkan Pulau Campbell yang lebih ke selatan. Keasrian ini menunjukkan bahwa mungkin koloni masyarakat Polinesia kuno tidak pernah lebih ke selatan dari Pulau Enderby.

Para peneliti berpendapat, hal yang menyebabkan masyarakat Polinesia kuno tidak ke selatan disebabkan pendinginan global di masa sejarah. Alih-alih berlayar ke selatan, penghuni Pulau Enderby ini dipaksa situasi ke utara, sampai akhirnya Kepulauan Auckland tidak dihuni hingga kolonisasi bangsa Eropa.

Mustahil berlayar ke selatan sampai Antarktika

Pulau Enderby menjadi batas paling selatan kependudukan Polinesia kuno. Kawasan ini berjarak sekitar 2.000 kilometer dari Antarktika. Anderson skeptis jika penduduk dari pulau ini berlayar sampai mencapai dataran Antarktika, karena kondisinya yang semakin dingin di selatan.

Jika masyarakat tradisional hendak mencapai Antarktika, para peneliti berpendapat, tantangan yang dihadapi dengan pelayaran adalah fisik dan praktisnya, seperti kehilangan panas tubuh dan asupan kalori. Belum lagi, pakaian yang tersedia bagi masyarakat Polinesia memiliki serat yang cenderung terbuka.

Pada aspek teknologi, walaupun memang dikenal sebagai pelayar ulung, pelayaran ke Antarktika akan membutuhkan upaya perbaikan perahu. Jarak 2.000 kilometer tanpa daratan mengharuskan perahu dan layar memiliki kayu dan serat yang dapat melakukan perbaikan dengan efisien.

Ditambah lagi gelombang, suhu, dan angin Samudra Selatan sangat kencang. Keterampilan yang lebih canggih sangat diperlukan. Sampai saat ini, perahu dengan teknologi modern pun sulit bernavigasi dengan aman di Samudra Selatan.